Selasa, 16 Juli 2013

Broken Heart

Hari ini, di kala senja menghampiri, saat itulah aku pertama kali melihatnya sedang duduk di Tribun sekolah. Aku sudah mengamatinya sejak beberapa menit yang lalu. Dia sepertinya tidak menyadari ada sepasang mata yang mengamatinya sejak tadi. Mendadak dia menoleh ke arahku. Aku tergagap, pura-pura melihat handphone, dan berusaha tidak terlihat sedang mengamatinya. Beberapa saat kemudian, dia pergi menuju parkiran. Aku masih mengamati punggungnya sampai tak terlihat lagi.
Ini minggu kedua aku berada di sekolah baruku. Ya, status sebagai pelajar SMP telah kutinggalkan beberapa bulan yang lalu. Kini aku adalah seorang pelajar di sebuah sekolah swasta terkenal di kotaku, SMA CENDANA. Aku aktif dalam mengikuti berbagai macam kegiatan ekstra maupun non ekstra. Dan karna kegiatan itu banyak menyita waktu bermainku, bahkan waktu kepulanganku ke  rumah.
Sore ini adalah untuk ketiga kalinya dalam minggu ini aku mengikuti ekstrakurikuler, sehingga kepulanganku ke rumah terlambat. Kali ini aku tak mendapatinya duduk di bawah tribun, melainkan di dekat kami yang sedang ekskul. “Dia itu siapa? Kenapa disini?” batinku. Berbagai pertanyaan melintas di benakku. Tak lama, karena beberapa menit kemudian dia memperkenalkan diri. “Semuanya, perkenalkan nama saya Ilham Anugrah. Panggil aja Ilham. Disini saya menjabat sebagai Sie.Humas”. “Ternyata dia senior disini” pertanyaan yang melintas di benakku tadi telah terjawab. Semua calon junior heboh, maklum yang berdiri di hadapan kami adalah seseorang yang boleh di bilang ganteng. Senyumnya juga ramah dan sepertinya dia jahil, menurutku. Ekskul sore itu hanya di isi oleh perkenalan-perkenalan antara senior dan calon junior. Dan baru saat itu aku menyadari bahwa aku sering bertemu dengannya saat pulang sekolah sambil mengendarai sepeda motor berwarna merah.
Parkiran sekolah sepi. Aku duduk di kursi piket, menunggu di jemput. Hanya tersisa beberapa kendaraan guru dan murid. Mataku mengamati sekeliling, benar-benar sepi. “Via!”. Seseorang berteriak memanggil namaku. Sontak aku terkejut dan melihat ke belakang. “Febri, kenapa? Ngagetin aja” kataku setelah melihat siapa yang memanggilku. Febri hanya tertawa, lantas duduk tepat di sebelahku. “Belum di jemput?” tanyanya. Aku menggeleng. “Kamu Feb, kenapa belum pulang?”. “Nungguin si Muti nih, belum selesai dia les. Biasalah anak tebengan”. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi Febri yang sedang kesal itu.
Saat kami sedang menunggu, tiba-tiba terdengar suara tawa yang khas, muncul dari arah belakang. Kutoleh kebelakang, ternyata benar. Dia yang aku amati senja itu di Tribun. Dia yang mendadak muncul saat ekskul dan ternyata adalah seniorku, dia yang membuat otakku memikirkannya. Dia, Ilham. Ilham bersama ketiga temannya, tertawa dan bercanda menuju kendaraan masing-masing. Kuperbaiki sikap dudukku, dan menyiapkan senyum terbaik untuknya jika dia melihat, tentu saja.
Mungkin dewi keberuntungan tengah bersamaku kala itu. Benar saja, dia menghampiriku dan kemudian menyapaku, hal yang seharusnya aku lakukan, mengingat aku adalah juniornya. “Belum di jemput dek?” tanyanya ramah. “Belum bang” jawabku tak kalah ramah, dan tak lupa ku berikan senyum terbaik menurutku. “Ini mau pulang, oh ya namamu siapa dek?”. “Via bang”. “Oh Via..”. dia tampak mengingat-ingat nama itu. “Maklum baru kemarin aku masuk” lanjutnya lagi. Aku hanya tersenyum. “Oh aku pulang duluan ya dek” pamitnya. “Iya..”. kemudian dia bergegas menuju motornya, mengenakan helm, menyalakan mesin, dan beberapa saat saja dia sudah menghilang dari pandanganku.
Semenjak pertemuan di parkiran, aku mulai bertingkah aneh. Sahabatku bilang tingkahku ini seperti kena penyakit gila. Ya, aku tahu mengapa mereka bilang aku terkena penyakit gila. Gila, karna sejak hari itu aku selalu menyebut namanya. Gila, karna aku selalu menceritakan segala tentangnya, walau yang ku ketahui hanyalah dia seniorku. Gila, karna tiap saat ingin selalu melihatnya. Gila semua tentangnya. Seperti siang itu, ketika aku dan mutia sedang makan siang di pelataran kelas, dari kejauhan terlihat sesosok lelaki sedang menenteng bola basket. “Muuuut! Lihaat kesana!” teriakku histeris. “Ada apaa, ada apaa?” tanyanya. Matanya mengikuti arah telunjukku. “Apaan sih?” tanyanya kesal. “Ada bang Ilham” kataku lagi. Mataku tetap awas mengamati kemana arah dia pergi. Tak kuperdulikan tatapan kesal dan celotehan mutia. “Maaf, hehe”. Hanya itu yang mampu ku ucapkan saat itu.
Namanya jatuh cinta memang dahsyat! Mau makan, inget dia. Mau tidur, eh inget dia juga. Mau ngapa-ngapain juga ingat dia. Malam itu aku sendiri di kamar, tiduran sambil mendengarkan lagu melepaskan kejenuhan . tiba- tiba handphoneku bergetar. Ilham anugrah, nama yang tertetera di layar. “Ngapain dia sms? Tumben banget” batinku. Tapi rasa penasaran itu sirna berganti rasa senang tiada duanya karna orang yang kusukai mengirim sms padaku. Penat dan lelah yang kurasa, seketika itu juga menguap entah kemana.
2 menit lagi bel berbunyi. Dan aku masih berlari menuju pintu gerbang. Napasku terengah-engah, dan rasanya kakiku tak sanggup untuk melangkah. Ketika hampir mencapai pintu gerbang, aku sempat melihat dia dan motornya di belakangku. Tak kuperdulikan, saat ini yang paling penting tidak terlambat! Pikirku. Lantas ku ayun kakiku selebar dan secepat mungkin menuju ruang bahasa inggris. Dan tepat sebelum masuk kelas, bel pun berbunyi. “Syukurlah, masih keburu”.
“Telat Vi? Tumbenan, biasanya pagi belum bel udah nongkrong di depan. Kesiangan ya?”. aku diam. Masih berusaha mengatur nafas yang memburu. “Nih, minum dulu”. Leta menyodorkan sebotol air mineral. Segera ku sambar air yang di sodorkan Leta. Dalam beberapa detik, isi botol itu habis. “Makasih, Ta” ucapku. “Iya, samasama. Tumben telat? Kesiangan?” tanyanya mengulang pertanyaan sebelumnya. “Iya nih, telat bangun. Semalam tidur telat” jelasku. Tak ku katakan bahwa tadi malam aku asik telponan dengan bang Ilham. Tadi malam begitu membahagiakan, ketika telponan dengan bang Ilham, waktu terasa cepat berputar, tahu-tahu begitu tersadar jarum jam telah menunjukkan angka 00.15.telinga panas tak kuhiraukan, jarang sekali ada moment seperti ini.
Jam pelajaran telah usai. Aku,leta, dan febri berjalan menuju perpustakaan untuk mengerjakan tugas kelompok. Di tengah perjalanan menuju perpustakaan, mendadak aku ingin ke toilet. “Leta, Febri. Kalian duluan aja ya! aku mau ke toilet sebentar”. Leta mengangguk, kemudian aku berubah arah berjalan menuju toilet. Sehabis dari toilet, aku menuju perpustakaan. Mungkin saat itu aku sedang tidak konsentrasi, aku menabrak sosok yang sedang memegang bola bakset. Bola basket itu terlempar, dan buku-bukuku jatuh berserakan. “Maaf”. Suaranya seperti yang sering ku dengar. Aku mendongak, bang Ilham!. “Maaf maaf  bang”. Gemetaran suaraku, bibirku memucat perlahan. “Iya nggak apa dek. Lain kali kamu hati-hati ya” balasnya sambil memungut bola, lalu pergi sambil bersiul. Aku masih terpaku menatapnya.
“Kok lama kali Vi? Dari toilet aja kan? Nggak ke kantin kan? ” Leta menyambutku dengan pertanyaan beruntun. “Nggak nggaak Leta sayang. Tadi dari toilet, pas mau kesini, eh malah nabrak orang”. “Hah? Nabrak siapa?”. “Bang Ilham”. “Oalaah. Cieee cieee bang Ilham yaa. Matamu kemana neeng?” Goda Leta. Kurasakan pipiku memerah menahan malu. Melihatku yang seperti itu, Leta sepertinya puas menggoda. Akhirnya sepanjang di perpustakaan itu kami membicarakan Ilham. Ketika asik membicarakannya, tiba-tiba muncullah bang Ilham. “Maak, datang aa’ mu Vi” seru Febri. “Mana mana?”. “Disana!” tunjuk  Leta. “Shuuut, Let! Jangan di tunjuk, malu akuu” seruku seraya menutup muka dengan buku kimia. “Ini ngapain pakai tutup-tutup muka segala?”. Leta segera menarik buku yang kupakai untuk menutup muka, dan Febri memanggil-manggil namaku. Sumpah mati aku kesal dengan dua orang makhluk yang berada di sampingku. Segera ku ambil tas, dan pergi dari perpustakaan. Sayup-sayup yang ku dengar dari mulut Leta dan Febri hanyalah “Yah, kok ngambek sih”.
From : Ilham Anugrah
Dek, besok bisa tolong bawakan novel yang mau kupinjam kemarin? Jangan lupa ya! makasih.
Huh, sms dari bang Ilham bikin kesal. Kirain smsnya nanya apa gitu, tanyain aku udah makan atau belum kek, tanyain aku ekskul atau nggak kek, iih kesal!. Kalau cuma seperti ini, aku malas bertanya lebih lanjut.  Segera ku balas pesan dari bang Ilham dengan singkat, lalu ku hempaskan badan di atas kasur. Semilir angin AC menyapu tubuhku, dalam sekejap aku terbang ke alam mimpi.
“Sayang...” Ilham memanggilku. Aku menoleh, dan tersenyum padanya. Dia duduk tepat di sebelahku, kemudian mengelus pipiku. “Kamu kenapa?” tanyaku. “Hahaha. Ya ampun Via sayang, tampangmu polos banget ya ternyata”. “Maksudnya? Aku polos?” tanyaku dengan tampang bingung. Ilham hanya tersenyum, dan mengenggam tanganku, seolah aku akan pergi jauh. Aku balas mengenggam tangannya lebih erat, seolah tak mau kehilangan. Dan memang aku tak ingin kehilangannya. Untuk beberapa saat, aku merasakan kedamaian dan ketentraman yang selama ini aku rindukan. Dari orang yang aku sayang, tentu saja. Berdua kami tenggelam dalam keheningan senja sore itu. Tiba-tiba, Ilham berdiri kemudian menatapku dan kemudiaan....
Kriiingg kriiiingg kriiinngg! Astaga, ternyata aku hanya bermimpi! Kukira semua itu tadi adalah kenyataan, tapi ternyata tidak. Aku bersyukur, walau dalam mimpi semua yang aku inginkan bisa terjadi, walau cuma dalam mimpi. Bergegas aku turun dari tempat tidur, mandi, memakai pakaian, dan sarapan. Terburu-buru aku berlari mengejar bis yang biasa ku tumpangi ketika akan berangkat sekolah.  Pagi itu, aku melihat dia sedang mengendarai motor merahnya menuju sekolah. Dan lagi-lagi aku hanya menatapnya dari jendela bus. Itu sudah cukup menambah kegembiraan pagi ini. Ketika itu, yang kurasakan adalah semangat, kegembiraan, dan hal positif  lainnya. The power of  love? Maybe.
Kami berdua sampai di sekolah pada saat yang bersamaan, saat turun dari bus, bisa kurasakan ada sepasang mata yang mengamatiku. Benar! Ternyata Ilham. “Pagi dek” sapanya. Nada suaranya terdengar riang. “Pagi juga bang. Eh kok abang duluan yang nyapa aku? Harusnya kan aku” protesku. “Alah, aturan dari mana  tuh junior yang harus nyapa senior duluan? Kalau senior yang bisa duluan nyapa, kenapa nggak? Ya kan?” jelasnya. Aku mangut-mangut. “Iya juga sih bang”. “Oh iya bawa novelnya dek?”. “Bawa bang, ini”. Kusodorkan novel Tuesday with morrie yang akan di pinjamnya. Tangannya meraih novel yang pegang, dan jariku sedikit bersentuhan dengan tangannya. Dia tersenyum,mengucapkan terimakasih, dan berlalu meninggalkanku. Deg! Mendadak perasaan malu menyelimutiku. Pipiku memerah dan dadaku berdebar kencang. Aku rasa rumus fisika, atau matematika takkan bisa mengatasi penyelesaian dari gejalaku ini. Rasa ini benar-benar membuatku bagai tak berpijak pada bumi. Cinta.
Beberapa bulan sudah aku menjalani hubungan dengan bang Ilham. Hubungan yang terjalin di antara kami semakin akrab. Mungkinkah aku dapat menjalin sesuatu hubungan yang lebih?.  Aku sendiri tak berani untuk berharap lebih, tapi kuakui ternyata aku sangat menginginkannya.
Mungkin aku berharap terlalu jauh. Berharap dia menjadi milikku. Berharap dia memberi perhatian lebih padaku, bukan hanya sekedar abang dan adek. Dan aku tak tahu mengapa perasaan ini muncul, ketika melihatnya bersama dengan seorang perempuan yang pasti bukan aku, aku merasakan dadaku bergolak. Amarahku muncul, mungkinkah aku cemburu? Tuhan, kuakui rasa itu dulunya hanya sekedar rasa kagum dari junior terhadap seniornya. Tapi sekarang semuanya telah berubah. Rasa kagum itu kini menjelma rasa cinta yang amat sangat dalam. Rasa cinta yang terpendam, karna untuk mengungkapkannya, aku takkan pernah berani untuk mengakui di hadapannya.
Mendung sejak pagi tadi telah setia menemaniku ke sekolah. Perasaanku seperti mendung, tak bersemangat tak bergairah. Aku merasakan ada sesuatu yang akan terjadi. Aku tak tau ini pertanda apa, namun yang jelas firasat itu mendatangkan sesuatu yang merubah hidupku untuk ke depan.
Kelas masih sepi saat aku tiba di sekolah. Segera kucari bangku yang strategis untuk belajar, lalu duduk melamun menunggu teman yang lain datang. Setelah hampir 10 menit melamun, akhirnya satu-persatu teman-teman mulai berdatangan. Suara tawa riang dan gaduh memecah keheningan yang tadi tercipta. Namun, biarpun suara gaduh dan berisik, aku merasa sepi. Sunyi. Kelabu.
“Viaa. Kamu kenapa? Murung terus dari tadi? Ada masalah apa sayang?”. Leta menghampiriku, jelas dia khawatir dengan keadaanku. “Nggak ada apa-apa Let. Hari ini aku cuma ngerasa nggak enak badan aja” jawabku. Leta terus menatapku, seolah-olah aku berbohong. Kutegaskan sekali lagi padanya bahwa aku tidak apa-apa. Leta masih menatapku, lalu “Yaudah kalau kamu baik-baik aja. Ntar kalau ada apa-apa cerita ya. aku mau ke UKS sebentar”. “Iya Leta. Makasih udah mau perduli sama aku” balasku.
Pulang sekolah, aku memergoki Leta sedang bersama Ilham. Mungkinkah mereka menjalin sebuah hubungan khusus? Ah tak mungkin, batinku. Baru kali ini aku melihat mereka berdua berjalan bersama. Berbagai pikiran negatif  berputar-putar di kepalaku. “Tapi Leta kan sahabatku, nggak mungkin dia pacaran sama Ilham, ada-ada saja. Mungkin kebetulan mereka berpapasan” pikirku dalam hati, meskipun sejujurnya aku tak percaya dengan pemikiranku barusan.
Malam itu, ketika sedang asyik membaca, handphoneku berdering. Tertera di sana, Febri Liana. Kutekan tombol answer. “Via! Udah tau belum kabar ini?”. Suara diseberang sana terdengar panik. “Berita apaan?”. “Leta pacaran sama Ilham!” seru Febri dari seberang sana. Sejenak aku terdiam. Berusaha mencerna kalimat febri barusan. “Ah masa iya? Nggak mungkin lah” kataku berusaha membela Leta. Tak mungkin sahabat sendiri tega berpacaran dengan orang yang di sukai oleh sahabatnya?. “Seriiuuus Via! Aku nggak bohong. Kalau nggak percaya lihat aja FB mereka! Oh iya Vi, kamu nggak kenapa-napakan?  “Nggak feb. Yaudah makasih infonya ya. udah dulu ya, aku capek. Pusing”. Maka telponpun berakhir.
Segera kubuka  FB Leta dan Ilham, disana tercantum dengan jelas, In Relathionship With .. “TEGA! TEGA!” teriakku keras. Tanganku mengepal, dan mataku pedih menahan tangis. Aku merasa bagai di setrum oleh ribuan watt listrik. Air mataku tumpah tanpa bisa kucegah lagi. Mengalir begitu saja, membelah di antara pipiku. Aku menangis tersedu, telungkup di atas kasur, berharap semua ini hanya mimpi dan tak mungkin terjadi. Dan berharap rasa yang menyesakkan itu sirna, lebur bersama tangis. Tapi ternyata tidak. Rasa itu masih ada, bahkan meninggalkan torehan luka di hatiku.
“Tuhan, mengapa harus Leta? Mengapa harus dia yang merebut dirinyaa? Leta sahabat baikku tuhan.” Tangisku makin menjadi-jadi. “Aku relaa, Ilham bersama dia, tapi bukan dia sahabat baikku! Hiks, tega kamu Let, tega! Kamu tahu aku suka sama ilham, berusaha mendekatinya, tapi kamu? Kamu malah merebutnya! TEGA TEGA TEGA!”. Setelah puas mengobrak-abrik hampir separuh kamar, akhirnya aku terduduk di lantai, bersandar di lemari pakaian. Airmata turun semakin keras, dadaku terasa sesak. Dan yang kulakukan hanya menangis.
Sepanjang malam aku menangis, hingga keesokan harinya mataku bengkak. Aku tak perduli penampilanku seperti apa, toh tidak ada yang peduli. Dia juga tak perduli. Apalagi Leta, sungguh dia takkan perduli! Sejak tadi malam telah aku ikrarkan di dalam hati aku akan membenci Leta. Si pengkhianat itu.
Istirahat siang kuhabiskan untuk berada di mushola. Mushola sepi, dan aku hanya sendiri. Jam dinding yang terletak di dinding itu, seakan mengejek kesendirianku. Inginku marah, tapi tenagaku sudah habis terkuras karna semalam telah menangis. Perlahan-lahan air mataku kembali tumpah. Aku tidak tahu ini untuk keberapa kalinya airmataku mengalir. Pintu mushola dibuka.segera kuhapus air mata itu dengan menggunakan punggung tangan. Seseorang masuk, dan memanggilku. “Via, disini kamu rupanya” nadanya terdengar lega. “Syukurlah kamu nggak kenapa-napa. Aku khawatir banget sama kamu”. Febri ternyata mencariku. “Via,Via, kamu kenapa?”. Dilihatnya wajahku, dan berseru tertahan. “Ampun Viaaa!! Kamu nangis? Masalah apa?”. Kepanikan dan kecemasan terlihat jelas di wajahnya. Febri mendekat, mengusap punggungku, menepuknya perlahan, seakan ingin aku berbagi kesedihan padanya. Tangisku jatuh lagi, kali ini ada Febri yang memelukku, untuk menenangkanku. Untuk beberapa saat, yang terdengar hanyalah isak tangisku.
Akhirnya aku jujur kepada febri tentang perasaanku terhadap ilham. “Udah ku duga seperti ini” kata febri, setelah kami terdiam cukup lama. “Maksudmu apa feb?” tanyaku tak mengerti. “Hari itu udah aku kasih peringatan sama Leta, tapi Leta nggak mau dengarin aku”. “Ini salahku Vi” lanjut febri sedih. “Nggak febri nggak salah. Febri bener kok. Makasih ya feb”. Benar-benar terharu melihat sebegitu perdulinya febri. Aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti Febri.
“Via Via”. Leta memanggilku. Sedikitpun aku tak menoleh, apalagi menjawab panggilan Leta. Kupercepat langkah kaki,namun leta berhasil mengejarku. Leta menarik tanganku. “Apaan sih?!” teriakku kesal. Leta terdiam, mungkin kaget melihat sikapku yang biasanya lemah lembut, berubah menjadi kasar seperti itu. “Kamu beda banget hari ini Vi. Kamu kayak ngindar dari aku, padahal aku mau ngajak kamu jalan bareng. Aku baru jadian jadi pengin ngerayain bareng sahabat aku”. “Mau ikut nggak?” tawarnya. “Nggak” sahutku singkat. “Kenapa?” tanyanya lagi. Ih, maunya apa lagi sih? Ingin rasanya aku berteriak di depan mukanya, “Heh Let. Ngapain ngajak aku pergi? Untuk ngeliat kalian berdua senang-senang? Sementara aku disini menahan sakit? Sadar woi sadar!”
Seharian ini lirik lagu Geisha terngiang di kepalaku. Lirik yang bagaimana pula bisa sama dengan apa yang kurasakan. “Semua salahku, tak jaga dirimu, untuk hatiku, sungguh ku tak sanggup. Semua terjadi seperti mimpi, mimpi burukku, kehilanganmuu”. Aku bahkan hampir menangis lagi ketika mendengar lagu itu. Ku akui aku terlalu melankolis,dramatis, atau apalah namanya. Tapi kehilangan seseorang yang kita cinta, sangat menyakitkan. Apalagi, jika seseorang yang kita sayangi, berpacaran dengan sahabat sendiri. Ya, sahabat! Kehilangan yang menyakitkan. Kehilangan sahabat, sekaligus orang tercinta. Dan melupakan orang yang di sayang, mungkin seiring berjalannya waktu rasa sakit itu akan sembuh. Tapi, pengkhianatan dari seorang sahabat takkan pernah sembuh rasa sakitnya.
Diari menjadi pilihanku untuk mengeluarkan segala keluh-kesah dan galauku. Selain febri, hanya dengan diarilah aku mampu menceritakan semua perasaanku tak takut akan bocor.
Dear diari..
Andai kau tahu
Betapa keras usahaku tuk hapus bayangmu
Segala tentangmu,...
Namun tiap kali ku mencoba
Ku gagal, dan di tiap gagal menghampiri
Semakin erat bayangmu memelukku
Memenjarakanku
Membuat seluruh badanku bergetar hebat
Andai kau tahuu ..
Untukmu ilham anugrah.

Setelah hampir sebulan bergelut dengan rasa benci,amarah,dendam, aku lelah. Inginku akhiri semua rasa itu. Ya berusaha berdamai dengan keadaan. Sore itu aku merenung, mengingat masa-masa lalu. Lalu berdialog dengan diri sendiri. Ketika sedang sendiri, Febri datang ke rumah dengan motornya. Berhenti tepat di depan pintu pagar, lalu berteriak memanggilku, dan mengajakku jalan. Aku tercenung. Betapa baiknya sahabatku yang satu ini. Betapa keras usahanya untuk mengajakku pergi jalan-jalan. Hal yang sudah beberapa bulan ini kutinggalkan pasca kejadian itu. Baiklah, ini saatnya mengakhiri kesedihan, pikirku. Lantas ku ganti pakaian dan menuju motor febri. Senyum senang merekah dari bibir febri yang merah. Aku balas tersenyum. “Mau kemana kita?” tanyaku bersemangat. “Ke harmony aja yuk. Makan es krim” usulnya. Aku mengiyakan. Sore itu aku habiskan untuk bersenang-senang dengan sahabat baikku, Febri, tanpa kehadiran Leta.
Dear Diari..
Melupakan seseorang tak semudah membalik telapak tangan, apalagi jika dia orang yang berharga di dalam hidup. Melupakannya, sama susahnya dengan mengingat orang yang belum pernah kita temui sebelumnya.
Namun, rasa ini terlalu menyiksa, menguras tenagaku, bahkan merebut semua tawa,canda, dan kebahagiaan diri ini. Ini harus di akhiri..
Sepertinya ini memang takdir tuhan, yang mengharuskan aku tuk belajar melupakan sesuatu, dan berusaha untuk menerima segala kepedihan,tangis, kesedihan, dan berusaha tuk menggantinya dengan tersenyum ikhlas. Sulit, ku akui. Tapi aku yakin bisa. Aku takkan mati hanya karna cinta dari “DIA” pupus terhadapku, karna aku masih mempunyai cinta yang lain. Cinta dariNya, karna berkat karuniaNya aku bisa menyukai dia. Cinta dari Ayah, cinta dari Ibu, cinta dari sahabat dan teman, cinta dari adik. Cinta tak harus dari dia, dan betapa bodohnya aku menangisi kehilangan satu cinta, padahal ada banyak cinta di sekelilingku. Cinta, semoga semua ini menjadi pembelajaran dan ini adalaah satu langkah dewasakan diri, walau tak ku pungkiri juga pedih.
Ku tutup lembar diariku. Itu adalah lembar terakhir yang aku tulis di dalamnya, sebab aku ingin mengakhiri semuanya, dan ingin menggantinya dengan kebahagiaan. Demi masa depanku juga.
Febri tersenyum senang ketika melihatku tertawa ketika di sekolah. Matanya berkaca-kaca. “Selamat datang kembali, sahabatku. Akhirnya sahabatku telah kembali” ucapnya. Aku memeluknya, merasakan betapa kuatnya ikatan antara kami, ini jauh lebih penting daripada cinta dari ilham, senior yang sukses memporak-porandakan hatiku. “Ke Gor yuk, main basket” ajaknya lagi. “Yuk” aku mengiyakan ajakakan Febri. Sejam bermain basket, aku sudah merasa menemukan diriku yang sempat hilang. Setelah capek bermain, kami pergi ke kantin memesan makanan dan minum. Saat sedang menunggu pesanan datang, terlihat Leta dan Ilham sedang berjalan berdua. Mesra. Bergandeng tangan. Seolah tak ingin berpisah. Febri melirik ke arahku panik. Aku mengerti arti lirikan matanya. “Tenang aja Feb. Aku udah nggak mikirin dia lagi. Udah kubuang di tong sampah.” Ucapku menenangkannya. “Mending kita makan, daripada ngeliat mereka, nggak bakal bikin kenyang” lanjutku lagi sambil menyuap sesendok nasi goreng. Febri tersenyum dan mengikutiku. “Terimakasih tuhan, aku nggak merasa terlalu sakit hati” bisikku.
“Bila memang ku yang harus mengerti. Bila ku bukanlah yang ingin kau miliki, salahkah diriku, singgah di hatimu. Dan bilakah kau tau, kau yang ada di hatiku. Bila cinta kita takkan terjadi, walau rasa di hati ingin memilikimu. Cinta harus berkorban walau harus menunggu selamanya. namun ku yakin kita kan bersama suatu saat nanti. Dimana hanya ada kebahagiaan bukan tangis airmata.”
“Jika memang takdir tuhan menggariskan kita bersama, maka itu pasti akan terjadi. Hanya butuh waktu dan kesabaran dalam menunggunya. Jangan pernah menyerah menggapai cinta, sabar dan ikhlas kunci utama. Semua ada jalannya.” Aku membisikkan kata-kata penyemangat dalam diriku. Lalu menghirup nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan dan tersenyum seraya berkata, “Ini Vialina Andriani yang baru, tegar tanpa airmata”.


Enjoy and Happy reading guys! ini salah satu pengalaman pribadiku sih :'). walaupun patah hati, kita mesti move on yaa ;;) ganbatte kudasai buat yang masih galau! xD
di tunggu komentarnya :)

Follow Me On Twitter : @citraayuputrii

0 komentar: