Selasa, 16 Juli 2013

Senja Terakhir

Padang savana. Ilalang sepanjang mata memandang. indah sekali. Aku duduk menatap langit yang mulai temaram. Mataku menatap nanar rumput yang ada di depan. Sesekali ku mainkan rumput, seakan berbagi kesedihan. Disinilah aku menghabiskan waktu luang untuk sekedar duduk menyendiri. Sebuah tempat yang indah, jauh dari polusi kota.
Kretak. ''Astaga suara apa itu?''batinku. Kusapu pandangan ke seluruh ilalang. ''Hei, siapa itu?''. ''Kamu yang siapa''. Dari arah belakang muncul sesosok lelaki tinggi berwajah ramah. Di wajahnya terukir senyum, amat menawan. Dengan langkah pasti dia mendekatiku. Aku terkejut, mundur beberapa langkah. ''Jangan takut, aku nggak ngapa-ngapain kamu kok'' katanya sambil tertawa. Aku sedikit luluh, kemudian mendekat dan duduk di sebelahnya. ''Catur'' katanya sambil mengulurukan tangan. Akupun membalas uluran tangannya. ''Senja'' jawabku. ''Wah namanya unik'' pujinya. Dapat kurasakan pipiku memerah, padahal aku baru saja mengenalnya. ''Terimakasih. Namamu juga bagus''. Sore itu, senja terindah dalam hidupku. Dan aku yakin, sesuatu yang baik akan terjadi.
''Senja kamu kemana aja? Dari tadi ibu cariin kamu. Darimana sih?''. Ibu menatapku. Aku diam, sesekali memainkan garpu di atas meja makan. ''Senja! Jawab ibu kamu darimana?! Kamu nggak tahu kalau ibu khawatir?'' nada suara ibu naik turun. Aku tersentak, kalimat ibu barusan sangat-sangat mengambarkan perasaannya yang khawatir. ''Senja ke padang savana bu'' jawabku lirih. ''Untuk apa kesana? Senja udah janji sama ibu kan nggak akan kesana lagikan? Tapi kenapa nak?'' mendadak mata ibu berkaca-kaca. ''Ya Tuhaan. Aku berbuat salah lagi'' mendadak mataku basah oleh air mata, cepatku usap air mata dan berlari meninggalkan ibu yang terpaku di meja makan.
Sebuah surat kuletakkan di meja rias kamar ibu.
''Ibu, maafkan senja tidak menepati janji. Senja tahu, hati ibu akan sangat sakit, bila senja pergi ke padang itu. Tapi senja betah bu! Semua sedih, resah, suntuk senja hilang tiap berada disana. Ibu, maafkan senja. Sepertinya kita berdua harus berusaha melupakan ayah bu. Biarkanlah kenangan itu hidup dalam hati kita, padang itu tidak salah bu! Dia hanya menjadi saksi bisu antara aku, ayah juga ibu. Terkadang senja juga merasa disana ada ayah yang selalu mengawasi. Senja ingin ibu izinkan berada disana bu''

Ibu tersentak. Air matanya kembali tumpah. Biarlah untuk saat ini, senja berada disana.
Sepulang dari sana, aku meminta maaf pada ibu. Aku dan ibu pun sepakat untuk melupakan kenangan pahit bersama ayah.
Kali ini aku tidak sendiri menantikan senja. Sebab ada Catur, seorang lelaki yang baru saja kemarin aku kenal. Karna sifatnya yang ramah, aku mulai membuka diri. Kami saling bertukar cerita, baru saja beberapa jam berbincang, rasanya seperti aku telah lama mengenalnya. ''Senja'' panggil Catur. ''Ya?'' jawabku. ''Kenapa kamu sering kesini? Tempat ini istimewa ya?''. ''Eh tapi kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa, maaf aku lancang'' lanjutnya lagi, kali ini sambil nyengir. Aku tertawa kecil. ''Tidak tahu. Aku merasa tenang berada disini. Disini aku merasa jadi diriku sendiri''. Mendadak mataku mulai berkaca-kaca. Catur segera menepuk bahuku, seperti mengerti kesedihanku. ''Terimakasih, Tur'' bisikku pelan. ''Kamu seperti sahabat yang telah lama aku kenal''. ''Samasama Senja. Jangan sedih, tuh liat disana, senjanya cerah. Masa Senja yang ini sedih''. Ucapan Catur membuatku tersenyum, sejenak melupakan masalah yang ada. Senja ini, akan selalu aku kenang, karna di saat inilah aku mempunyai sahabat baru.
Hari Pertama di Sekolah membuatku muak. Ada sederet kegiatan ekskul yang harus kujalani. Juga tugas-tugas yang menumpuk saking banyaknya, hingga aku sendiripun bingung ingin memulai dari mana. Hari pertama ini, hampir menjadi hari terburuk yang pernah ada, kalau saat itu aku tidak bertemu Catur di ruang perpustakaan. ''Cewek, sendirian aja nih'' suara cowok, entah siapa menggodaku. Tak kuhiraukan godaan centil itu, namun beberapa saat kemudian aku tersentak. kutoleh ke belakang dan hey Catur rupanya. ''Catur! Sekolah disini jugaaa?'' tanyaku antusias. ''Iya nih. Senja di kelas X. Berapa?''. ''X.2, kamu?'' ''Hahaha. Aku kan udah kelas XI, senja'' jawabnya sambil tertawa. ''Hah? Udah kelas XI? Kok nggak bilang sama aku kemarin, Tur?'' tanyaku kesal. ''Iyaa. Aku malas dipanggil abang atau kakak. Kesannya aku udah tua'' lanjutnya lagi sambil mengacak-acak rambutnya. ''Jadi, aku tetap boleh panggil kamu Catur?'' tanyaku memastikan. ''Boleeh senja''. ''Eh aku masuk kelas dulu ya. Nanti kalau butuh aku, tuh kelas aku disana. Aku pamit ya''. Catur melambaikan tangannya sambil berlalu menuju kelas. Akupun membalas lambaian tangannya dan pergi menuju taman yang ada di belakang sekolah. baru sekitar setengah jam, langit mendadak mendung, aku segera mencari tempat berteduh, aku berlari menuju pos satpam di depan, berhubung juga sebentar lagi bel berbunyi. Tak lama kemudian, ratusan siswa dan siswi menghambur keluar dari pintu gerbang. Kuamati satu persatu, tidak kutemui sosok catur diantara siswa- siswi itu. Halaman sekolah sepi, aku berniat menghampiri Catur di kelasnya. Namun, niat itu aku urungkan sebab hujan telah turun dengan derasnya. ''Neng, nunggu siapa disini? Sudah jam 3 atuh'' suara satpam mengagetkanku. ''Nunggu teman pak. Mungkin sebentar lagi'' balasku, tanpa mengalihkan pandangan. Tak lama kemudian, Catur muncul dari arah parkiran belakang. Badannya basah kuyup. Catur berlari menuju pos satpam tempatku berada. ''Senja, kamu belum pulang?'' tanyanya ramah. ''Nunggu kamu'' balasku sambil tersenyum. ''Wah, nungguin aku. Mau pulang sama-sama?'' tawarnya. ''Boleh''. ''Tapi tunggu hujannya reda dulu ya'' lanjutnya lagi. Aku mengangguk, sambil memperhatikan tingkahnya. Segera kuangsurkan jaket yang sedang kukenakan. Catur menatapku takjub, yang bisa kuartikan dari tatap itu adalah kok cewek nih yang kasih jaket harusnya kan cowok. ''Apaan nih?'' tanyanya sambil menolak jaketku. ''Alah, pakai Tur. Dingin. Nanti sakit'' balasku sambil tetap menyodorkan jaket. Catur masih menatap tak percaya. namun, sejurus kemudian senyum manis pun tersungging di bibirnya.
Sejak saat itu persahabatan kami berdua semakin erat. Dimana ada Senja disitu ada Catur. Begitu sebaliknya. Namun, semakin erat dan kuat  hubungan sebuah persahabatan, pasti akan ada masa dimana persahabaatn dipertaruhkan. Kesetiaan dan saling pengertian di uji. Dan aku rasa, saat itu telah tiba.
Pagi itu, aku berjalan menuju kelas. Udara pagi yang menembus kulit membuatku merapatkan jaket yang kukenakan. Gigiku bergemeletuk, menahan dingin yang amat sangat. Aku memang datang terlalu pagi hari, karna ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada Catur, karna aku tahu dia selalu datang paling awal. Langkahku kini semakin dekat dengan ruang kelas Catur. Tampak pintu kelas telah terbuka, tanda bahwa telah dimasuki oleh orang. Aku melongok ke dalam kelas. Terlihat Catur sedang asyik membaca buku, mungkin hari itu dia sedang ujian. Perlahan, aku menggeser kursi yang ada disebelahnya. Kutepuk bahunya perlahan. Catur menatapku, dan aku tersenyum. Saat itu aku merasakan sesuatu yang amat berbeda dari tatapannya. Sebuah tatapan kebencian penuh dendam. ''Catur''. ''Marah sama aku? Kenapa?'' tanyaku ragu. Seingatku, kami kemarin baik-baik saja, bahkan masih sempat bercanda. Apa salah yang aku perbuat, hingga dia marah seperti itu?. Catur diam, tangannya cepat mengemasi buku yang di bacanya, lalu pergi meninggalkanku begitu saja. Aku tersentak, gerakannya yang cepat membuatku tak bisa berkutik. ''Catur tunggu!'' teriakanku tak dapat menghentikan langkahnya. Saat itu juga aku merasa duniaku runtuh. Bahkan aku merasa saat itu hampa. Ya hampa. Bagai sebuah ruang yang kosong tanpa berisi apa-apa. Perlahan air mataku menetes.
''Senja kamu nggak papa?'' suara Santi, teman sebangkuku. ''Nggak papa kok San'' sahutku pelan. ''Matamu bengkak. Habis nangis ya?'' tanyanya lagi, kali ini dengan nada prihatin. Aku menatap nanar matanya, perlahan rasa menyesakkan itu kembali lagi, namun dengan cepat kutepis. ''Udah nggak apa-apa kok San. beneran deh''. Nada suara ku ubah sedemikian ceria, dan aku membrikan senyum, ya sebuah senyum palsu. Santi tampak tidak yakin, namun senyum kembali menghiasi wajahnya. ''Ya sudah. Kalau ada apa-apa cerita aja sama aku ya, Senja'' katanya lagi, sebelum berlalu. Aku mengangguk.
''GIla! Mereka semua gila!'' teriakku keras. Sembari membanting semua barang-barang yang ada dihadapanku. ''Mereka jahat! Aku benci! Kenapa mereka iri? Aku nggak pernah iri sama mereka!'' kali ini, tanganku berhenti merusak barang. Kali ini, tangisku yang pecah. Lelah, aku duduk di tengah buku-buku yang berserakan, memandang foto catur, dan kembali menangis ketika teringat apa penyebab Catur memusuhinya. Tanganku baru saja hendak meraih telpon genggam, namun terhenti. Ketukan pintu dari ibu yang cemas, membuatku urung menghubungi Santi. Perlahan aku bangkit dan membuka pintu. Jeritan tertahan ibu melihat aku dan kamar yang berserakan, tanda pemiliknya sedang kecewa. ''Nak, kamu kenapa?'' ibu bertanya, sambil membelai lembut kepalaku. Aku terdiam. ''Catur bu'' kata-kataku terhenti. Aku tak sanggup meneruskan kalimat berikutnya. ''Kenapa,Nak?'' tanya ibu lagi, kali ini lebih perhatian siap mendengarkan. ''Dia membenciku bu. Tanpa sebab yang jelas dan menurutku, kekanakan'' lanjutku sedikit terisak. Ibu memelukku, seakan ingin berbagi dan merasakan perasaanku saat ini. ''Tenanglah Senja. Ibu tahu, Catur sahabat terbaik bagi kamu. Tapi ingat nak, ada saat dimana terkadang orang yang bersahabat akrab beselisih. Bahkan, orang dewasa seperti ibu pun dapat berselisih, Nak'' lanjut ibu lagi. ''Jangan lantas Catur memusuhi Senja tanpa sebab, Senja merasa dia akan menjauh. Tenanglah, coba berfikir dewasa. Mungkin, ada sesuatu yang mengganjal fikiran Catur. Bisa jadi, Catur sedang ada masalah dan tak ingin melibatkan Senja'' lanjut ibu lagi. Aku terdiam, berusaha merenungi apa yang ibu ucapkan barusan. ''Semoga hubungan kalian kembali dekat, Nak. Ibu doakan. Kalian bukan anak kecil lagi, bersikaplah selayaknya orang dewasa'' lanjut ibu sembari berjalan keluar kamar. Sepeninggal ibu, kini aku tahu apa yang harus kuperbuat.
Rabu, Sehari sebelum pertengkaran.
Aku dan Catur sedang menikmati segarnya es jeruk di kantin. Sampai akhirnya Rheina, salah seorang teman sekelas Catur, menghampiri kami. Sikapnya ramah, membuat aku dan Catur tak merasa keberatan Rheina bergabung bersama kami. Namun ternyata, di balik sikap ramahnya, ada maksud tersembunyi. Rupanya, saat aku lengah, Rheina mengambil sesuatu dari tasku. Sesuatu yang sangat berharga bagiku dan Catur. Sebuah liontin, yang berisi foto ibu Catur yang telah tiada. Pada saat catur memberikan liontin itu padaku, itu tanda dia sangat percaya bahwa aku dapat menjaga liontin pemberiannya. Sebab benda itu benda satu-satunya pemberian ibunya. Sepertinya Rheina mengetahui benda itu amat berharga bagi Catur. Saat aku belum sempat menyadari bahwa liontin itu raib dari tasku, catur telah lebih dulu mengetahuinya. Melalui adu domba Rheina dan teman sekelasnya, Catur pun memusuhi aku disaat aku yang sama sekali sadar bahwa liontin itu telah hilang. Entah bagaimana Rheina membisikkan kata-kata pada catur, sehingga catur begitu mudahnya percaya.
Setelah aku mengetahui semua itu. Sekitar seminggu lebih aku tak berjumpa dengan Catur. Seperti saat ini. Biasanya kami selalu berada di padang savana untuk menyaksikan senja. Berdua. Sambil menebak-nebak bentuk awan, atau sekedar duduk memaikan rumpat dan bunga-bunga. Senja kali ini, untuk pertama kalinya sejak bersahabat dengan Catur, aku sendiri.
Senja senantiasa setia menutup hari dengan kilau cahayanya, membuat hati berdecak kagum. Menambah rasa syukur pada tuhan atas karunia, menyaksikan senja begitu indah. Menenangkan hati. Damai. Namun, di tengah keindahan senja yang biasa ku agungkan, aku merasa hampa.
Aku pulang dengan langkah gontai. Akan tetapi, aku sudah menyiapkan kata-kata permintaan maaf juga pembelaan terhadap diriku sendiri. Aku ingin minta maaf pada Catur, sebab ada rasa yang selalu menghantuiku, cepat kutepis perasaan itu. Jujur aku tak bisa. Malam hari terasa lambat, aku ingin segera pagi tiba. Saat jam wekerku berbunyi tanda aku harus segera bangun, aku telah siap di meja makan untuk sarapan.
Dan, kini aku telah sampai di depan kelas Catur. Kali ini sosok itu sedang menggambar, entah apa yang dia gambar aku tidak tahu. Sebelum melangkah, aku menguatkan hati, agar jangan sampai air mata ini menetes. Sebab, bila aku menangis, sia-sia sajalah apa yang telah kupersiapkan sejak tadi malam. Aku mengusurkan sepucuk surat. Dia menatapku. Tatapannya tak berbeda dengan sebelumnya saat kutemui, namun kali ini sinar matanya lebih bersahabat. ''Catur, aku minta maaf atas apa yang telah terjadi. Bukan maksudku menyalahkan siapa-siapa, aku tahu aku teledor, padahal barang itu sangat penting bagimu. Dan kamu mempercayakan padaku. Tapi aku lalai dalam menjaganya'' kataku tegas. Namun sangat sulit untuk kukatakan dan menahan gejolak hati agar tak menangis. ''Kenapa baru sadar?'' kali ini Catur angkat bicara. Wajahnya lebih serius. Matanya menatap tepat di mataku, seakan menusuk jantungku, membuat remuk sendi-sendi. ''Sebenarnya aku tahu, Tur. Aku cuma ingin, kita menyelesaikan masalah ini dengan cara kita. Bukan dengan bermusuhan seperti ini'' kataku lagi, kali ini aku pastiak suaraku bergetar. ''Sekarang Liontin itu nggak tahu ada dimana. Cari, itu berharga buat aku. Tapi sahabatku sendiri, yang aku percaya malah menghilangkannya!'' nada suara catur yang tegas membuatku tersentak. ''Baik! Aku tahu aku memang nggak bisa menjaga barang yang kamu titip. Tapi salah aku sepenuhnya? Kenapa kamu mendadak begini tur! Kamu, kamu berubah. Dalam sehari kamu menjadi orang yang tak pernah aku kenal. Tidak berarti lagikah sekarang?'' emosiku meledak-ledak. ''Cari! Aku nggak mau tahu. Aku nggak akan pernah maafin, sampai kamu menemukan lagi Liontin itu!'' balasnya tak kalah keras. Aku tersentak. Mataku memanas, pandanganku mulai kabur. Aku berlari keluar dari kelas, air matakupun mengalir tanpa dapat kucegah.
''Sabar Senja. Jangan menangis. Aku akan membantumu mencari liontin itu'' ucap Santi lirih. Aku tak menggubris perkataan Santi. Yang aku lakukan hanyalah menangis, menangis dan terus menangis. Santi menemaniku sepanjang siang itu, dia yang di panggil ibu untuk menenangkanku, hanya diam selama berada di dekatku. Aku tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Sampai akhirnya Santi pamit pulang, bibirku pun enggan untuk mengucap kata terimasih. Aku menangis, hingga dadaku terasa sesak. Kemudian semuanya gelap.
Catur menatap surat yang diletak senja tadi pagi. Hati kecilnya berbisik bahwa ia harus membukanya. Catur mengambil surat itu dan membukanya perlahan.
''Catur. Aku minta maaf atas apa yang terjadi. Kalaulah benar di janji persahabatan kita adalah setia dang saling percaya. Mengapa sekarang kamu mempertanyakan semuanya. Dalam sehari. Ya dalam sehari kamu berubah. Menjadi orang yang asing bagiku. Dimana biasanya kita bersama menatap senja bersama, namun kini padang dan senja itu hanya membisu, merekam semua kisah yang pernah kita ukir. Aku merasa sendiri, Tur. Merasa sendiri dalam keramaian. Merasa hampa, katamu kita adalah 1. Ya kamu benar. Kita adalah 1 kesatuan. Aku merasakan hampa saat kamu tidak ada. Hanya akukah kini yang merasakannya? Tidak berarti lagikah?. Maaf  jika hilangnya liontin itu membuatmu marah. Setidaknya, aku ingin kamu memaafkan aku, walau untuk ke depannya kamu tidak ingin bersahabat lagi denganku. Aku minta maaf...
Senja, yang merindukan teman sejatinya''

Catur terpekur. Batinnya berperang. Semua perasaan bercampur aduk. Antara ingin memaafkan dan tetap melanjutkan keputusan kemarin. Lelah. Catur akhirnya tertidur di atas meja belajar.
''Aku dimana,bu?'' tanyaku lirih. Kepalaku rasanya berat. Aroma mentol tercium kuat, membuatku merasa sedikit pusing. ''Di rumah sakit sayang. Kamu kecapekan'' ibu menjawab sambil tersenyum. ''Ibu pergi ke tempat suster dulu ya, sayang?'' lanjutnya. Saat ibu berbalik, aku sempat menangkap air mata ibu.
''Dokter. Apa penyakitnya bisa di sembuhkan? Dengan cara apapun akan saya tempuh, bahkan operasi sekalipun!'' ibu menatap tegang dokter Endang. ''Maaf bu. Jantungnya sudah lemah sekali. Sangat sulit melakukan operasi, apalagi resikonya sangat besar'' jelas dokter Endang. ''Apalagi ibu terlambat mengetahui bahwa jantung Senja amat lemah. Jika saja dapat diketahui dari awal, mungkin kita dapat melakukan tindakan medis lebih cepat'' sambungnya lagi. Ibu terpekur, kali ini tidak menangis lagi.
Sore itu Catur berjalan menuju rumah Senja. Ada hal yang ingin dibicarakannya. Catur ingin meminta maaf pada Senja. Sahabat yang begitu akrab, mendadak bermusuhan karna suatu hal yang tidak seharusnya mempertaruhkan harga sebuah persahabatan. Rumah Senja sepi. Catur tidak ingin menunggu lama. Lantas, dia teringat sebuah tempat yang sering ia kunjungi bersama senja. Sesampainya di padang savana, Catur tak menemukan sosok senja. Kini giliran Catur merasa hampa saat menatap senja.
''Santi! tunggu!'. ''Santi menoleh. ''Eh kak Catur. Ada apa kak?''. ''Senja mana?''. ''Senja? Loh kakak nggak tahu? Senja dari kemarin masuk rumah sakit kak''. ''Apa? Sakit apa dia?!'' Catur sedikit panik. ''Entah kak, santi juga nggak tahu. coba aja kakak jenguk, dia di rumah sakit harapan'' lanjut santi. ''Makasih ya, San''. Catur tidak dapat berkonsentrasi. Fikirannya tertuju pada Senja. ''Ya tuhan. Semoga tidak terjadi apa-apa pada senja. Aku berdosa sekali rasanya''.
''Senja'' panggil catur. perlahan, mata senja kembali terbuka. ''Catur, itu kamu?''. ''Iya ini aku, senja. Bangunlah. Maafin aku ya, karna karna aku kamu jadi sakit''. Senja tersenyum, mengenggam erat tangan Catur. ''Nggak papa, tur. Aku senang kamu masih peduli sama aku'' lanjutnya pelan. ''Sekarang jam berapa?'' aku bertanya, sambil mencari-cari jam dalam ruangan. ''Setengah 6, kenapa? Senja ingin kesana?''. Catur tahu pasti tempat yang ingin di tuju Senja. Aku mengangguk. ''Sebentar, aku tanya ibu dan dokter dulu ya'' bergegas Catur keluar dari ruang. ''Boleh,Senja. Ayo kita pergi''. Catur membantuku berdiri, dan membantu mendorong kursi roda yang aku kenakan.
''Tempat ini nggak pernah berubah ya, Tur'' kataku sambil menatap hamparan rumput menanti senja. ''Iyaa''. ''Catur, aku ingin seperti senja'' kataku lagi. ''Kenapa?''. ''Karna aku ingin memberikan kebahagiaan pada orang-orang yang melihat senja. Memberikan kedamaian dan ketenangan hati, aku ingin'' lanjutku lagi. ''Senja sudah seperti itu. Senja selalu ada di saat aku butuh. Aku sudah lupakan semua hal yang terjadi kemarin'' balas Catur sambil tersenyum. ''Dan, liontin ini aku ingin titipkan lagi ke kamu,'' lanjutnya. Aku terperangah. ''Ini, ini, liontin kemarin kan?'' tanyaku. ''Iya. Rheina mengaku telah mengambil liontin itu dari tas kamu. Aku sungguh menyesal tidak mempercayaimu''. Aku tersenyum. Sungguh ini pengakuan yang membuatku bahagia. Keheningan menyelimuti kami berdua. Namun dalam hening kali ini aku tak merasa sepi. ''Senja. Sebenarnya ada hal yang ingin kukatakan''. ''Apa?''. Kutatap raut wajah Catur. Air mukanya berubah. Kali ini kusadari ada hal yang tidak beres. ''Aku harus pindah sekolah, senja. Ayah baru saja di mutasikan ke Singapura. Aku sebenarnya sudah menolak, tapi ayah memaksaku. Kamu tahu sendirikan bagaimana kerasnya hati ayah?''. Aku terdiam. Haruskah aku merasa kembali marah dan sepi?. Keheningan kembali menyelimuti. ''Catur. Pergilah. Itu tidak lama. Jarak kitapun tidak jauh. Aku masih bisa berkunjung kesana, dan kamu pun bisa mengunjungiku disini. Pergilah. Aku tidak apa-apa'' jawabku sambil tersenyum. Catur tersenyum, mungkin hal itu jugalah yang memberatkan hatinya. Namun, saat ini dadaku terasa sesak. Sakit amat sangat kurasakan. Catur panik. Dia langsung menggendongku menuju mobil, dan mengemudi dengan sangat cepat.
Kondisi ku semakin lemah. Hari ini tepat sebulan aku terbaring lemah di rumah sakit. Kali ini aku tidak dapat berbicara, menggerakkan badan saja rasanya amat sulit. Catur menatapku nanar. Kepergiannya ke singapura lusa. Dan dia masih setia menemaniku. Saat aku terbangun, kudapati catur sedang tertidur di sofa. Aku terenyuh. Dalam hati aku berdoa agar dapat melepas kepergiannya dengan senyum. ''Senja. Sudah bangun ya?''. Catur berjalan sambil mengucek matanya. ''Iya tur'' sahutku lemas. ''Catur aku ingin kita pergi ke tempat biasa kita menatap senja''. ''Tapi, kamu masih sakit senja. Aku nggak bisa bwa kamu kesana''. ''Aku juga nggak pingin liat kamu sakit lagi karna aku'' lanjutnya. Aku menggeleng. ''Bawa aku kesana tur! Aku ingin''. Atas izin dokter dan ibu, akhirnya aku kembali lagi ke padang savana, menantikan senja terkhir bersama Catur. Saat menatap senja, hanya kebisuan yang tercipta. Namun aku bahagia. Catur bahagia. Aku kini bisa melepaskan catur. ''Senja. Kita pulang yuk?'' ajak Catur. ''Sebentar lagi tur. Oh iya, aku punya sebuah permintaan untuk kamu'' lanjutku. ''Apa itu?''. ''Kembalilah kemari saat kamu sudah sukses,Tur. Dan kembalilah saat kamu telah sukses berdamai dengan ayahmu. Dan kembalilah saat kamu sudah kembali percaya padaku'' ucapku. Sesaat catur tertegun. Kemudian, dia mengangguk mantap.
Kepergian Catur tidak dapat ku antar karna tidak di izinkan ibu. Akupun tidak ingin melihatnya lagi, sebab aku akan menangis kembali saat melihatnya.
Malam itu sesaat setelah aku selesai menulis surat untuk Catur. Dadaku sesak, kali ini sesak semakin menjadi- jadi. Aku pingsan untuk kesekian kalinya.
''Senjaaa. Bangun nak. Jangan tinggalin ibu sendiri'' tangisan ibu sedikit membuka kesadaranku.''Bu? Senja nggak papa kok'' sahutku lemah. ''Ibu. ada yang ingin senja titipkan pada ibu'' lanjutku lagi. Kali ini nafasku serasa berhenti. ''Apa nak? Katakan pada ibu''. Ibu mencengkeram erat tanganku. ''Berikan surat itu pada Catur ya bu. Tolong berikan, kalau nanti Catur kembali. Maafkan Senja ya bu, selama ini senja telah menjadi anak yang sering membangkang. Ba. Baha. Bahagialah sepeninggal Senja nanti''. Kali ini aku tidak dapat berbicara lagi. Dadaku sesak, sesak yang amat sakit dan lain dari biasanya. ''Senjaaaaaaaa!'' tangisan ibu pecah.
Pemakaman Senja telah berlangsung sejak tadi. Awan mendung menghiasi langit sedari proses pemakaman. Hingga sore, senja yang indah tak terlihat karna mendung. Langit seakan mengerti bahwa mereka kini telah kehilangan senja.
Bertahun-tahun semenjak kepergian Senja. Catur kembali dan pergi ke rumah Senja. Ingin memberitahukan bahwa sekarang dia telah di terima di Universitas yang di inginkan. Juga ingin membuktikan janji bahwa dia dapat rukun bersama ayahnya. Alangkah terkejutnya Catur saat mengetahui bahwa senja telah lama meninggal. ''Tapi tante. Senja berjanji untuk tetap setia menunggu saya'' Catur masih tak terima. ''Tante tahu Catur. Tapi inilah kenyataan'' sahut Ibu senja lirih. ''Sebelum pergi, dia menitipkan surat ini untukmu'' lanjut ibu Senja. Catur meraih surat tersebut, dan segera permisi dari sana. Dia memacu mobilnya kencang, dan tiba di tempat terakhir dia bersama senja. Catur memandang tempat favorit mereka. ''Benar katamu, senja. Tempat ini tidak berubah'', ucap Catur pelan. Perlahan dia membuka surat dari Senja.
''Catur. Aku tahu kalau tiba saatnya surat ini berada di tanganmu, aku telah tiada dari dunia ini. Aku tahu kamu pasti kembali membuktikan janjimu, namun maaf Catur. Aku yang kali ini mengingkarinya. Aku tidak sanggup lagi dengan sesak yang menyiksaku. Toh aku tahu memang hidupku tidak lama lagi. Maafkan aku Catur. Berbahagialah dengan kehidupan barumu. Aku selalu menyanyangimu, sahabatku. Ada atau tidak ada aku. Walau jasadku tidak dapat kamu lihat, namun ragaku selalu bersemayam di hatimu dan Senja''

Catur melipat surat tersebut hati-hati. Sedikit kesedihan dari wajahnya terhapus. ''Ya aku tahu senja. Kamu tidak akan pernah pergi. Aku akan selalu dapat melihatmu, aku tahu kamu selalu datang di saat Senja tiba''. Senyum Catur terkembang. Dia yakin bahwa senja ada disana, bersamanya.  

Happy reading guys! ini cerpen aku buat waktu tugas bahasa indonesia :). Arigatou buat yang udah baca, komentarnya di tunggu loh ;;). Oh ya buat yang mungkin baca cerpenku yang lain, aku juga pakai nama Catur ( dia ini sahabatku), aku pakai namanya soalnya namanya unik ;).

Follow Me On Twitter : @citraayuputrii

0 komentar: