Selasa, 16 Juli 2013

Cinta Diam-Diam

Cinta Diam-Diam

Rabu, Januari 2013
Hari ini aku mengamatinya dari tempatku. Seperti biasa, dia masih mengagumkan  dimataku. Senyum manis dan ceria berpadu satu dengan kulitnya yang putih bersih. Manakala dia bercanda, aku ikut menyunggingkan seulas senyum. Terkadang, aku ingin tertawa lepas bersamanya. Namun, aku terlalu malu untuk mendekatinya.

Jumat, Januari 2013
Tuhan! Hari ini aku dan dia berada dalam satu kelompok kesenian. Awalnya, aku mencoba bersikap semanis mungkin, akan tetapi jantungku mulai berdetak dengan cepat, keringat dingin mulai menjalari telapak tanganku, bahkan ketika dia melontarkan lelucon, tawaku terdengar kaku dan sumbang. Aku tidak tahu harus berbuat apa disaat seperti ini.

Ku tutup buku harian yang telah selesai ditulis. Aku menghela nafas berat. Bahkan saat dirinya tidak disini pun, aku masih dapat mencium aroma tubuhnya yang khas. Telingaku juga masih terngiang oleh tawanya. Ya aku, Nami seorang siswa SMA yang cupu dan tidak terkenal menyukai seorang siswa laki-laki yang cukup dikenal di sekolah. Aku hanya ingin merasakan cinta masa remaja seperti layaknya remaja lain.
Siang itu aku berjalan di tengah lapangan menuju koridor kelas. Kudapati teman-teman sepermainanku sedang tertawa. Aku pun segera bergabung.Di sela-sela canda, aku melihatnya! ya dia! Fido! Anak laki-laki di kelas yang aku sukai. Mendadak aku terdiam dan menunduk. “Lho, Nami kenapa? Kok mendadak diam dan nunduk?” Rissa, salah seorang dari temanku bertanya. “Aah, anu. Nggak ada apa-apa kok.” jawabku gugup. “Masa sih?” nampaknya Rissa tidak terlalu mempercayaiku. Matanya liar mencari-cari sesuatu. “Ahaa! Aku tahu kenapa” katanya dengan nada menggoda. Aku makin menunduk, sebab Fido berjalan semakin mendekati tempat kami duduk. “Apa?” tanyaku pelan, sembari melihat ke arah Fido. “Karna ada siii.... Fido kan?” tanyanya. Refleks kututupi mukanya dengan buku yang aku pegang. “Nggak kok nggak!”. “Nggak kok tapi mukanya panik gitu?” Rissa menggodaku. “Shuut, jangan ah. Aku malu” balasku pelan. Percakapan aku dan Rissa akhirnya terputus oleh bel tanda masuk kelas.
“Hai, Nami!” sapa Fido ketika aku berada di kelas. “Oh, Hai!” jawabku senormal mungkin, padahal jantungku ini hampir melonjak keluar saking senangnya. Rasa senang yang membuat kantukku hilang di jam pelajaran terakhir.

Senin, Februari 2013
Besok kelompokku akan mengadakan praktikum di sekolah. Dan aku sekelompok dengan Fido! Apa yang harus kulakukan? Ya tuhan, bantu aku agar dada ini tidak berdegup kencang didekatnya. Berikan aku kekuatan untuk dapat tersenyum tulus, untuk menyampaikan perasaan ini tuhan…

“Namiii, laporan praktikum kita Nami aja yang ketik ya?”. Fido berjalan ke arahku sambil menyerahkan berkas hasil praktikum. Ku jawab ya sembari menganggukkan kepala. “Ntar smsin aku ya kalau udah siap. Nanti kubantu Nami revisi” sambungnya lagi. “Ya Fido. Ntar ku kabarin deh ya kalau udah”.

Kamis, Februari 2013
Hari ini Fido sms aku! Rasanya ingin meloncat-loncat saat ini juga. Walaupun hanya sekedar menanyakan hasil praktikum, itu adalah sms yang sangat berharga. Ingin kadang aku bertanya tentang hal lain, akan tetapi aku tidak punya keberanian. Aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku kepadanya, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa.

“Nami, coba lihat kesana”. Ratih, teman sebangkuku tiba-tiba menunjuk ke arah Fido dan Ina. “Orangnya pacaran ya? Soalnya dari tadi Fido ngeliatin Ina sambil senyam-senyum gitu. Mana duduknya dekat-dekatan lagi” Ratih nyerocos semantara aku hanya terpaku melihat mereka berdua. “Ya Allah, apalagi? Kenapa mereka?!!!” batinku menjerit. "Lho, Nami kenapa? Mukanya kaget banget?". "Nggak kok. Aku nggak papa tih. Yuk kita kerjain aja tugasnya" ucapku pelan mengalihkan perhatian Ratih. Saat mengerjakan soal kimia, aku samasekali tidak fokus. Sesekali kulirik Fido dan Ina. "Semoga mereka nggak pacaran". doaku dalam hati.
Rabu
Aku tidak jadi mengatakan perasaanku pada Fido. Hari ini aku melihat dia dan Ina duduk berdua. Tidak seperti biasanya. Aku ingin menangis saat itu, untunglah ada Ratih di kelas sehingga aku bisa kembali fokus. Tuhan. Aku akui aku terlalu egois mengharapkan dia, tapi aku sendiri belum mampu mengutarakan isi hati ini. Sakit,sakit sekali di dada ini tuhan! Tak bisakah senyumnya untukku? Tawanya?
Ku hapus airmata yang menetes. "Kuat Nami! Kamu pasti bisa".
Hari demi haripun berlalu. Aku masih sering mengamati Fido dan Ina dari kejauhan. Sembari aku sendiripun mengkhayalkan seandainya aku yang disamping Fido, bukan Ina.
Selasa
Penantianku usai sudah hari ini. Terimakasih tuhan, kini aku tahu semua rencanamu berakhir bahagia untukku.
Sore tadi, Fido datang ke rumahku dengan wajah malu. Aku sendiri justru kaget melihatnya datang ke rumah. "Hmmm, Nam. Ada yang ingin aku bicarain deh ke kamu" ujar Fido, setelah aku terdiam beberapa menit. "Oh ya ya. Bicara apa? Eh masuk aja ke dalam dulu"jawabku gugup. "Eh iya". Kini aku dan Fido duduk berhadapan. "Sebenarnyaa....". "Sebenarnya apa Fid?" tanyaku tak sabar. Tapi hatiku juga berdebar-debar tak karuan. "Sebenarnya, aku udah lama suka sama kamu. Aku tahu dari Nabil kalau kamu suka ngeliatin aku. Nah, Nabil kan dekat sama Ina jadi dia minta tolong supaya pura-pura deketin aku, hehehe. Dan supaya aku bisa tahu kamu cemburu atau nggak. Ternyata iya kan?". Aku bagai tersambar petir di siang bolong. Perasaanku campur aduk. Antara senang sekaligus kesal. "Jadi selama ini?!". "Ya aku hanya pura-pura dekat sama Ina supaya bisa tahu kamu suka atau nggak sama aku. Sekarang aku tahu, kamu suka sama aku" jelasnya. "Nami.Mau jadi pacarku nggak?" lanjutnya. Aku diam beberapa detik. "Please aku mohon". Kuamati wajahnya sekali lagi, dan akhirnya akupun mengangguk. "Kamu mau?" tanyanya lagi seolah tidak percaya. "Ya" jawabku malu-malu.

Hari ini akhirnya aku dapat merasakan cinta masa remaja seperti remaja lainnya. Kini hidupku terasa lebih bewarna dan penuh semangat. Dan semua karna Fido, pacar tercintaku. 


Lagi-lagi ini curhatan guys :') dengan ending yang berbeda hehe *berasa ngenes banget*. But, Happy reading and enjoy it! thanks buat yang udah baca, komentarnya di tunggu loh xD

Follow Me On Twitter : @citraayuputrii

Senja Terakhir

Padang savana. Ilalang sepanjang mata memandang. indah sekali. Aku duduk menatap langit yang mulai temaram. Mataku menatap nanar rumput yang ada di depan. Sesekali ku mainkan rumput, seakan berbagi kesedihan. Disinilah aku menghabiskan waktu luang untuk sekedar duduk menyendiri. Sebuah tempat yang indah, jauh dari polusi kota.
Kretak. ''Astaga suara apa itu?''batinku. Kusapu pandangan ke seluruh ilalang. ''Hei, siapa itu?''. ''Kamu yang siapa''. Dari arah belakang muncul sesosok lelaki tinggi berwajah ramah. Di wajahnya terukir senyum, amat menawan. Dengan langkah pasti dia mendekatiku. Aku terkejut, mundur beberapa langkah. ''Jangan takut, aku nggak ngapa-ngapain kamu kok'' katanya sambil tertawa. Aku sedikit luluh, kemudian mendekat dan duduk di sebelahnya. ''Catur'' katanya sambil mengulurukan tangan. Akupun membalas uluran tangannya. ''Senja'' jawabku. ''Wah namanya unik'' pujinya. Dapat kurasakan pipiku memerah, padahal aku baru saja mengenalnya. ''Terimakasih. Namamu juga bagus''. Sore itu, senja terindah dalam hidupku. Dan aku yakin, sesuatu yang baik akan terjadi.
''Senja kamu kemana aja? Dari tadi ibu cariin kamu. Darimana sih?''. Ibu menatapku. Aku diam, sesekali memainkan garpu di atas meja makan. ''Senja! Jawab ibu kamu darimana?! Kamu nggak tahu kalau ibu khawatir?'' nada suara ibu naik turun. Aku tersentak, kalimat ibu barusan sangat-sangat mengambarkan perasaannya yang khawatir. ''Senja ke padang savana bu'' jawabku lirih. ''Untuk apa kesana? Senja udah janji sama ibu kan nggak akan kesana lagikan? Tapi kenapa nak?'' mendadak mata ibu berkaca-kaca. ''Ya Tuhaan. Aku berbuat salah lagi'' mendadak mataku basah oleh air mata, cepatku usap air mata dan berlari meninggalkan ibu yang terpaku di meja makan.
Sebuah surat kuletakkan di meja rias kamar ibu.
''Ibu, maafkan senja tidak menepati janji. Senja tahu, hati ibu akan sangat sakit, bila senja pergi ke padang itu. Tapi senja betah bu! Semua sedih, resah, suntuk senja hilang tiap berada disana. Ibu, maafkan senja. Sepertinya kita berdua harus berusaha melupakan ayah bu. Biarkanlah kenangan itu hidup dalam hati kita, padang itu tidak salah bu! Dia hanya menjadi saksi bisu antara aku, ayah juga ibu. Terkadang senja juga merasa disana ada ayah yang selalu mengawasi. Senja ingin ibu izinkan berada disana bu''

Ibu tersentak. Air matanya kembali tumpah. Biarlah untuk saat ini, senja berada disana.
Sepulang dari sana, aku meminta maaf pada ibu. Aku dan ibu pun sepakat untuk melupakan kenangan pahit bersama ayah.
Kali ini aku tidak sendiri menantikan senja. Sebab ada Catur, seorang lelaki yang baru saja kemarin aku kenal. Karna sifatnya yang ramah, aku mulai membuka diri. Kami saling bertukar cerita, baru saja beberapa jam berbincang, rasanya seperti aku telah lama mengenalnya. ''Senja'' panggil Catur. ''Ya?'' jawabku. ''Kenapa kamu sering kesini? Tempat ini istimewa ya?''. ''Eh tapi kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa, maaf aku lancang'' lanjutnya lagi, kali ini sambil nyengir. Aku tertawa kecil. ''Tidak tahu. Aku merasa tenang berada disini. Disini aku merasa jadi diriku sendiri''. Mendadak mataku mulai berkaca-kaca. Catur segera menepuk bahuku, seperti mengerti kesedihanku. ''Terimakasih, Tur'' bisikku pelan. ''Kamu seperti sahabat yang telah lama aku kenal''. ''Samasama Senja. Jangan sedih, tuh liat disana, senjanya cerah. Masa Senja yang ini sedih''. Ucapan Catur membuatku tersenyum, sejenak melupakan masalah yang ada. Senja ini, akan selalu aku kenang, karna di saat inilah aku mempunyai sahabat baru.
Hari Pertama di Sekolah membuatku muak. Ada sederet kegiatan ekskul yang harus kujalani. Juga tugas-tugas yang menumpuk saking banyaknya, hingga aku sendiripun bingung ingin memulai dari mana. Hari pertama ini, hampir menjadi hari terburuk yang pernah ada, kalau saat itu aku tidak bertemu Catur di ruang perpustakaan. ''Cewek, sendirian aja nih'' suara cowok, entah siapa menggodaku. Tak kuhiraukan godaan centil itu, namun beberapa saat kemudian aku tersentak. kutoleh ke belakang dan hey Catur rupanya. ''Catur! Sekolah disini jugaaa?'' tanyaku antusias. ''Iya nih. Senja di kelas X. Berapa?''. ''X.2, kamu?'' ''Hahaha. Aku kan udah kelas XI, senja'' jawabnya sambil tertawa. ''Hah? Udah kelas XI? Kok nggak bilang sama aku kemarin, Tur?'' tanyaku kesal. ''Iyaa. Aku malas dipanggil abang atau kakak. Kesannya aku udah tua'' lanjutnya lagi sambil mengacak-acak rambutnya. ''Jadi, aku tetap boleh panggil kamu Catur?'' tanyaku memastikan. ''Boleeh senja''. ''Eh aku masuk kelas dulu ya. Nanti kalau butuh aku, tuh kelas aku disana. Aku pamit ya''. Catur melambaikan tangannya sambil berlalu menuju kelas. Akupun membalas lambaian tangannya dan pergi menuju taman yang ada di belakang sekolah. baru sekitar setengah jam, langit mendadak mendung, aku segera mencari tempat berteduh, aku berlari menuju pos satpam di depan, berhubung juga sebentar lagi bel berbunyi. Tak lama kemudian, ratusan siswa dan siswi menghambur keluar dari pintu gerbang. Kuamati satu persatu, tidak kutemui sosok catur diantara siswa- siswi itu. Halaman sekolah sepi, aku berniat menghampiri Catur di kelasnya. Namun, niat itu aku urungkan sebab hujan telah turun dengan derasnya. ''Neng, nunggu siapa disini? Sudah jam 3 atuh'' suara satpam mengagetkanku. ''Nunggu teman pak. Mungkin sebentar lagi'' balasku, tanpa mengalihkan pandangan. Tak lama kemudian, Catur muncul dari arah parkiran belakang. Badannya basah kuyup. Catur berlari menuju pos satpam tempatku berada. ''Senja, kamu belum pulang?'' tanyanya ramah. ''Nunggu kamu'' balasku sambil tersenyum. ''Wah, nungguin aku. Mau pulang sama-sama?'' tawarnya. ''Boleh''. ''Tapi tunggu hujannya reda dulu ya'' lanjutnya lagi. Aku mengangguk, sambil memperhatikan tingkahnya. Segera kuangsurkan jaket yang sedang kukenakan. Catur menatapku takjub, yang bisa kuartikan dari tatap itu adalah kok cewek nih yang kasih jaket harusnya kan cowok. ''Apaan nih?'' tanyanya sambil menolak jaketku. ''Alah, pakai Tur. Dingin. Nanti sakit'' balasku sambil tetap menyodorkan jaket. Catur masih menatap tak percaya. namun, sejurus kemudian senyum manis pun tersungging di bibirnya.
Sejak saat itu persahabatan kami berdua semakin erat. Dimana ada Senja disitu ada Catur. Begitu sebaliknya. Namun, semakin erat dan kuat  hubungan sebuah persahabatan, pasti akan ada masa dimana persahabaatn dipertaruhkan. Kesetiaan dan saling pengertian di uji. Dan aku rasa, saat itu telah tiba.
Pagi itu, aku berjalan menuju kelas. Udara pagi yang menembus kulit membuatku merapatkan jaket yang kukenakan. Gigiku bergemeletuk, menahan dingin yang amat sangat. Aku memang datang terlalu pagi hari, karna ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada Catur, karna aku tahu dia selalu datang paling awal. Langkahku kini semakin dekat dengan ruang kelas Catur. Tampak pintu kelas telah terbuka, tanda bahwa telah dimasuki oleh orang. Aku melongok ke dalam kelas. Terlihat Catur sedang asyik membaca buku, mungkin hari itu dia sedang ujian. Perlahan, aku menggeser kursi yang ada disebelahnya. Kutepuk bahunya perlahan. Catur menatapku, dan aku tersenyum. Saat itu aku merasakan sesuatu yang amat berbeda dari tatapannya. Sebuah tatapan kebencian penuh dendam. ''Catur''. ''Marah sama aku? Kenapa?'' tanyaku ragu. Seingatku, kami kemarin baik-baik saja, bahkan masih sempat bercanda. Apa salah yang aku perbuat, hingga dia marah seperti itu?. Catur diam, tangannya cepat mengemasi buku yang di bacanya, lalu pergi meninggalkanku begitu saja. Aku tersentak, gerakannya yang cepat membuatku tak bisa berkutik. ''Catur tunggu!'' teriakanku tak dapat menghentikan langkahnya. Saat itu juga aku merasa duniaku runtuh. Bahkan aku merasa saat itu hampa. Ya hampa. Bagai sebuah ruang yang kosong tanpa berisi apa-apa. Perlahan air mataku menetes.
''Senja kamu nggak papa?'' suara Santi, teman sebangkuku. ''Nggak papa kok San'' sahutku pelan. ''Matamu bengkak. Habis nangis ya?'' tanyanya lagi, kali ini dengan nada prihatin. Aku menatap nanar matanya, perlahan rasa menyesakkan itu kembali lagi, namun dengan cepat kutepis. ''Udah nggak apa-apa kok San. beneran deh''. Nada suara ku ubah sedemikian ceria, dan aku membrikan senyum, ya sebuah senyum palsu. Santi tampak tidak yakin, namun senyum kembali menghiasi wajahnya. ''Ya sudah. Kalau ada apa-apa cerita aja sama aku ya, Senja'' katanya lagi, sebelum berlalu. Aku mengangguk.
''GIla! Mereka semua gila!'' teriakku keras. Sembari membanting semua barang-barang yang ada dihadapanku. ''Mereka jahat! Aku benci! Kenapa mereka iri? Aku nggak pernah iri sama mereka!'' kali ini, tanganku berhenti merusak barang. Kali ini, tangisku yang pecah. Lelah, aku duduk di tengah buku-buku yang berserakan, memandang foto catur, dan kembali menangis ketika teringat apa penyebab Catur memusuhinya. Tanganku baru saja hendak meraih telpon genggam, namun terhenti. Ketukan pintu dari ibu yang cemas, membuatku urung menghubungi Santi. Perlahan aku bangkit dan membuka pintu. Jeritan tertahan ibu melihat aku dan kamar yang berserakan, tanda pemiliknya sedang kecewa. ''Nak, kamu kenapa?'' ibu bertanya, sambil membelai lembut kepalaku. Aku terdiam. ''Catur bu'' kata-kataku terhenti. Aku tak sanggup meneruskan kalimat berikutnya. ''Kenapa,Nak?'' tanya ibu lagi, kali ini lebih perhatian siap mendengarkan. ''Dia membenciku bu. Tanpa sebab yang jelas dan menurutku, kekanakan'' lanjutku sedikit terisak. Ibu memelukku, seakan ingin berbagi dan merasakan perasaanku saat ini. ''Tenanglah Senja. Ibu tahu, Catur sahabat terbaik bagi kamu. Tapi ingat nak, ada saat dimana terkadang orang yang bersahabat akrab beselisih. Bahkan, orang dewasa seperti ibu pun dapat berselisih, Nak'' lanjut ibu lagi. ''Jangan lantas Catur memusuhi Senja tanpa sebab, Senja merasa dia akan menjauh. Tenanglah, coba berfikir dewasa. Mungkin, ada sesuatu yang mengganjal fikiran Catur. Bisa jadi, Catur sedang ada masalah dan tak ingin melibatkan Senja'' lanjut ibu lagi. Aku terdiam, berusaha merenungi apa yang ibu ucapkan barusan. ''Semoga hubungan kalian kembali dekat, Nak. Ibu doakan. Kalian bukan anak kecil lagi, bersikaplah selayaknya orang dewasa'' lanjut ibu sembari berjalan keluar kamar. Sepeninggal ibu, kini aku tahu apa yang harus kuperbuat.
Rabu, Sehari sebelum pertengkaran.
Aku dan Catur sedang menikmati segarnya es jeruk di kantin. Sampai akhirnya Rheina, salah seorang teman sekelas Catur, menghampiri kami. Sikapnya ramah, membuat aku dan Catur tak merasa keberatan Rheina bergabung bersama kami. Namun ternyata, di balik sikap ramahnya, ada maksud tersembunyi. Rupanya, saat aku lengah, Rheina mengambil sesuatu dari tasku. Sesuatu yang sangat berharga bagiku dan Catur. Sebuah liontin, yang berisi foto ibu Catur yang telah tiada. Pada saat catur memberikan liontin itu padaku, itu tanda dia sangat percaya bahwa aku dapat menjaga liontin pemberiannya. Sebab benda itu benda satu-satunya pemberian ibunya. Sepertinya Rheina mengetahui benda itu amat berharga bagi Catur. Saat aku belum sempat menyadari bahwa liontin itu raib dari tasku, catur telah lebih dulu mengetahuinya. Melalui adu domba Rheina dan teman sekelasnya, Catur pun memusuhi aku disaat aku yang sama sekali sadar bahwa liontin itu telah hilang. Entah bagaimana Rheina membisikkan kata-kata pada catur, sehingga catur begitu mudahnya percaya.
Setelah aku mengetahui semua itu. Sekitar seminggu lebih aku tak berjumpa dengan Catur. Seperti saat ini. Biasanya kami selalu berada di padang savana untuk menyaksikan senja. Berdua. Sambil menebak-nebak bentuk awan, atau sekedar duduk memaikan rumpat dan bunga-bunga. Senja kali ini, untuk pertama kalinya sejak bersahabat dengan Catur, aku sendiri.
Senja senantiasa setia menutup hari dengan kilau cahayanya, membuat hati berdecak kagum. Menambah rasa syukur pada tuhan atas karunia, menyaksikan senja begitu indah. Menenangkan hati. Damai. Namun, di tengah keindahan senja yang biasa ku agungkan, aku merasa hampa.
Aku pulang dengan langkah gontai. Akan tetapi, aku sudah menyiapkan kata-kata permintaan maaf juga pembelaan terhadap diriku sendiri. Aku ingin minta maaf pada Catur, sebab ada rasa yang selalu menghantuiku, cepat kutepis perasaan itu. Jujur aku tak bisa. Malam hari terasa lambat, aku ingin segera pagi tiba. Saat jam wekerku berbunyi tanda aku harus segera bangun, aku telah siap di meja makan untuk sarapan.
Dan, kini aku telah sampai di depan kelas Catur. Kali ini sosok itu sedang menggambar, entah apa yang dia gambar aku tidak tahu. Sebelum melangkah, aku menguatkan hati, agar jangan sampai air mata ini menetes. Sebab, bila aku menangis, sia-sia sajalah apa yang telah kupersiapkan sejak tadi malam. Aku mengusurkan sepucuk surat. Dia menatapku. Tatapannya tak berbeda dengan sebelumnya saat kutemui, namun kali ini sinar matanya lebih bersahabat. ''Catur, aku minta maaf atas apa yang telah terjadi. Bukan maksudku menyalahkan siapa-siapa, aku tahu aku teledor, padahal barang itu sangat penting bagimu. Dan kamu mempercayakan padaku. Tapi aku lalai dalam menjaganya'' kataku tegas. Namun sangat sulit untuk kukatakan dan menahan gejolak hati agar tak menangis. ''Kenapa baru sadar?'' kali ini Catur angkat bicara. Wajahnya lebih serius. Matanya menatap tepat di mataku, seakan menusuk jantungku, membuat remuk sendi-sendi. ''Sebenarnya aku tahu, Tur. Aku cuma ingin, kita menyelesaikan masalah ini dengan cara kita. Bukan dengan bermusuhan seperti ini'' kataku lagi, kali ini aku pastiak suaraku bergetar. ''Sekarang Liontin itu nggak tahu ada dimana. Cari, itu berharga buat aku. Tapi sahabatku sendiri, yang aku percaya malah menghilangkannya!'' nada suara catur yang tegas membuatku tersentak. ''Baik! Aku tahu aku memang nggak bisa menjaga barang yang kamu titip. Tapi salah aku sepenuhnya? Kenapa kamu mendadak begini tur! Kamu, kamu berubah. Dalam sehari kamu menjadi orang yang tak pernah aku kenal. Tidak berarti lagikah sekarang?'' emosiku meledak-ledak. ''Cari! Aku nggak mau tahu. Aku nggak akan pernah maafin, sampai kamu menemukan lagi Liontin itu!'' balasnya tak kalah keras. Aku tersentak. Mataku memanas, pandanganku mulai kabur. Aku berlari keluar dari kelas, air matakupun mengalir tanpa dapat kucegah.
''Sabar Senja. Jangan menangis. Aku akan membantumu mencari liontin itu'' ucap Santi lirih. Aku tak menggubris perkataan Santi. Yang aku lakukan hanyalah menangis, menangis dan terus menangis. Santi menemaniku sepanjang siang itu, dia yang di panggil ibu untuk menenangkanku, hanya diam selama berada di dekatku. Aku tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Sampai akhirnya Santi pamit pulang, bibirku pun enggan untuk mengucap kata terimasih. Aku menangis, hingga dadaku terasa sesak. Kemudian semuanya gelap.
Catur menatap surat yang diletak senja tadi pagi. Hati kecilnya berbisik bahwa ia harus membukanya. Catur mengambil surat itu dan membukanya perlahan.
''Catur. Aku minta maaf atas apa yang terjadi. Kalaulah benar di janji persahabatan kita adalah setia dang saling percaya. Mengapa sekarang kamu mempertanyakan semuanya. Dalam sehari. Ya dalam sehari kamu berubah. Menjadi orang yang asing bagiku. Dimana biasanya kita bersama menatap senja bersama, namun kini padang dan senja itu hanya membisu, merekam semua kisah yang pernah kita ukir. Aku merasa sendiri, Tur. Merasa sendiri dalam keramaian. Merasa hampa, katamu kita adalah 1. Ya kamu benar. Kita adalah 1 kesatuan. Aku merasakan hampa saat kamu tidak ada. Hanya akukah kini yang merasakannya? Tidak berarti lagikah?. Maaf  jika hilangnya liontin itu membuatmu marah. Setidaknya, aku ingin kamu memaafkan aku, walau untuk ke depannya kamu tidak ingin bersahabat lagi denganku. Aku minta maaf...
Senja, yang merindukan teman sejatinya''

Catur terpekur. Batinnya berperang. Semua perasaan bercampur aduk. Antara ingin memaafkan dan tetap melanjutkan keputusan kemarin. Lelah. Catur akhirnya tertidur di atas meja belajar.
''Aku dimana,bu?'' tanyaku lirih. Kepalaku rasanya berat. Aroma mentol tercium kuat, membuatku merasa sedikit pusing. ''Di rumah sakit sayang. Kamu kecapekan'' ibu menjawab sambil tersenyum. ''Ibu pergi ke tempat suster dulu ya, sayang?'' lanjutnya. Saat ibu berbalik, aku sempat menangkap air mata ibu.
''Dokter. Apa penyakitnya bisa di sembuhkan? Dengan cara apapun akan saya tempuh, bahkan operasi sekalipun!'' ibu menatap tegang dokter Endang. ''Maaf bu. Jantungnya sudah lemah sekali. Sangat sulit melakukan operasi, apalagi resikonya sangat besar'' jelas dokter Endang. ''Apalagi ibu terlambat mengetahui bahwa jantung Senja amat lemah. Jika saja dapat diketahui dari awal, mungkin kita dapat melakukan tindakan medis lebih cepat'' sambungnya lagi. Ibu terpekur, kali ini tidak menangis lagi.
Sore itu Catur berjalan menuju rumah Senja. Ada hal yang ingin dibicarakannya. Catur ingin meminta maaf pada Senja. Sahabat yang begitu akrab, mendadak bermusuhan karna suatu hal yang tidak seharusnya mempertaruhkan harga sebuah persahabatan. Rumah Senja sepi. Catur tidak ingin menunggu lama. Lantas, dia teringat sebuah tempat yang sering ia kunjungi bersama senja. Sesampainya di padang savana, Catur tak menemukan sosok senja. Kini giliran Catur merasa hampa saat menatap senja.
''Santi! tunggu!'. ''Santi menoleh. ''Eh kak Catur. Ada apa kak?''. ''Senja mana?''. ''Senja? Loh kakak nggak tahu? Senja dari kemarin masuk rumah sakit kak''. ''Apa? Sakit apa dia?!'' Catur sedikit panik. ''Entah kak, santi juga nggak tahu. coba aja kakak jenguk, dia di rumah sakit harapan'' lanjut santi. ''Makasih ya, San''. Catur tidak dapat berkonsentrasi. Fikirannya tertuju pada Senja. ''Ya tuhan. Semoga tidak terjadi apa-apa pada senja. Aku berdosa sekali rasanya''.
''Senja'' panggil catur. perlahan, mata senja kembali terbuka. ''Catur, itu kamu?''. ''Iya ini aku, senja. Bangunlah. Maafin aku ya, karna karna aku kamu jadi sakit''. Senja tersenyum, mengenggam erat tangan Catur. ''Nggak papa, tur. Aku senang kamu masih peduli sama aku'' lanjutnya pelan. ''Sekarang jam berapa?'' aku bertanya, sambil mencari-cari jam dalam ruangan. ''Setengah 6, kenapa? Senja ingin kesana?''. Catur tahu pasti tempat yang ingin di tuju Senja. Aku mengangguk. ''Sebentar, aku tanya ibu dan dokter dulu ya'' bergegas Catur keluar dari ruang. ''Boleh,Senja. Ayo kita pergi''. Catur membantuku berdiri, dan membantu mendorong kursi roda yang aku kenakan.
''Tempat ini nggak pernah berubah ya, Tur'' kataku sambil menatap hamparan rumput menanti senja. ''Iyaa''. ''Catur, aku ingin seperti senja'' kataku lagi. ''Kenapa?''. ''Karna aku ingin memberikan kebahagiaan pada orang-orang yang melihat senja. Memberikan kedamaian dan ketenangan hati, aku ingin'' lanjutku lagi. ''Senja sudah seperti itu. Senja selalu ada di saat aku butuh. Aku sudah lupakan semua hal yang terjadi kemarin'' balas Catur sambil tersenyum. ''Dan, liontin ini aku ingin titipkan lagi ke kamu,'' lanjutnya. Aku terperangah. ''Ini, ini, liontin kemarin kan?'' tanyaku. ''Iya. Rheina mengaku telah mengambil liontin itu dari tas kamu. Aku sungguh menyesal tidak mempercayaimu''. Aku tersenyum. Sungguh ini pengakuan yang membuatku bahagia. Keheningan menyelimuti kami berdua. Namun dalam hening kali ini aku tak merasa sepi. ''Senja. Sebenarnya ada hal yang ingin kukatakan''. ''Apa?''. Kutatap raut wajah Catur. Air mukanya berubah. Kali ini kusadari ada hal yang tidak beres. ''Aku harus pindah sekolah, senja. Ayah baru saja di mutasikan ke Singapura. Aku sebenarnya sudah menolak, tapi ayah memaksaku. Kamu tahu sendirikan bagaimana kerasnya hati ayah?''. Aku terdiam. Haruskah aku merasa kembali marah dan sepi?. Keheningan kembali menyelimuti. ''Catur. Pergilah. Itu tidak lama. Jarak kitapun tidak jauh. Aku masih bisa berkunjung kesana, dan kamu pun bisa mengunjungiku disini. Pergilah. Aku tidak apa-apa'' jawabku sambil tersenyum. Catur tersenyum, mungkin hal itu jugalah yang memberatkan hatinya. Namun, saat ini dadaku terasa sesak. Sakit amat sangat kurasakan. Catur panik. Dia langsung menggendongku menuju mobil, dan mengemudi dengan sangat cepat.
Kondisi ku semakin lemah. Hari ini tepat sebulan aku terbaring lemah di rumah sakit. Kali ini aku tidak dapat berbicara, menggerakkan badan saja rasanya amat sulit. Catur menatapku nanar. Kepergiannya ke singapura lusa. Dan dia masih setia menemaniku. Saat aku terbangun, kudapati catur sedang tertidur di sofa. Aku terenyuh. Dalam hati aku berdoa agar dapat melepas kepergiannya dengan senyum. ''Senja. Sudah bangun ya?''. Catur berjalan sambil mengucek matanya. ''Iya tur'' sahutku lemas. ''Catur aku ingin kita pergi ke tempat biasa kita menatap senja''. ''Tapi, kamu masih sakit senja. Aku nggak bisa bwa kamu kesana''. ''Aku juga nggak pingin liat kamu sakit lagi karna aku'' lanjutnya. Aku menggeleng. ''Bawa aku kesana tur! Aku ingin''. Atas izin dokter dan ibu, akhirnya aku kembali lagi ke padang savana, menantikan senja terkhir bersama Catur. Saat menatap senja, hanya kebisuan yang tercipta. Namun aku bahagia. Catur bahagia. Aku kini bisa melepaskan catur. ''Senja. Kita pulang yuk?'' ajak Catur. ''Sebentar lagi tur. Oh iya, aku punya sebuah permintaan untuk kamu'' lanjutku. ''Apa itu?''. ''Kembalilah kemari saat kamu sudah sukses,Tur. Dan kembalilah saat kamu telah sukses berdamai dengan ayahmu. Dan kembalilah saat kamu sudah kembali percaya padaku'' ucapku. Sesaat catur tertegun. Kemudian, dia mengangguk mantap.
Kepergian Catur tidak dapat ku antar karna tidak di izinkan ibu. Akupun tidak ingin melihatnya lagi, sebab aku akan menangis kembali saat melihatnya.
Malam itu sesaat setelah aku selesai menulis surat untuk Catur. Dadaku sesak, kali ini sesak semakin menjadi- jadi. Aku pingsan untuk kesekian kalinya.
''Senjaaa. Bangun nak. Jangan tinggalin ibu sendiri'' tangisan ibu sedikit membuka kesadaranku.''Bu? Senja nggak papa kok'' sahutku lemah. ''Ibu. ada yang ingin senja titipkan pada ibu'' lanjutku lagi. Kali ini nafasku serasa berhenti. ''Apa nak? Katakan pada ibu''. Ibu mencengkeram erat tanganku. ''Berikan surat itu pada Catur ya bu. Tolong berikan, kalau nanti Catur kembali. Maafkan Senja ya bu, selama ini senja telah menjadi anak yang sering membangkang. Ba. Baha. Bahagialah sepeninggal Senja nanti''. Kali ini aku tidak dapat berbicara lagi. Dadaku sesak, sesak yang amat sakit dan lain dari biasanya. ''Senjaaaaaaaa!'' tangisan ibu pecah.
Pemakaman Senja telah berlangsung sejak tadi. Awan mendung menghiasi langit sedari proses pemakaman. Hingga sore, senja yang indah tak terlihat karna mendung. Langit seakan mengerti bahwa mereka kini telah kehilangan senja.
Bertahun-tahun semenjak kepergian Senja. Catur kembali dan pergi ke rumah Senja. Ingin memberitahukan bahwa sekarang dia telah di terima di Universitas yang di inginkan. Juga ingin membuktikan janji bahwa dia dapat rukun bersama ayahnya. Alangkah terkejutnya Catur saat mengetahui bahwa senja telah lama meninggal. ''Tapi tante. Senja berjanji untuk tetap setia menunggu saya'' Catur masih tak terima. ''Tante tahu Catur. Tapi inilah kenyataan'' sahut Ibu senja lirih. ''Sebelum pergi, dia menitipkan surat ini untukmu'' lanjut ibu Senja. Catur meraih surat tersebut, dan segera permisi dari sana. Dia memacu mobilnya kencang, dan tiba di tempat terakhir dia bersama senja. Catur memandang tempat favorit mereka. ''Benar katamu, senja. Tempat ini tidak berubah'', ucap Catur pelan. Perlahan dia membuka surat dari Senja.
''Catur. Aku tahu kalau tiba saatnya surat ini berada di tanganmu, aku telah tiada dari dunia ini. Aku tahu kamu pasti kembali membuktikan janjimu, namun maaf Catur. Aku yang kali ini mengingkarinya. Aku tidak sanggup lagi dengan sesak yang menyiksaku. Toh aku tahu memang hidupku tidak lama lagi. Maafkan aku Catur. Berbahagialah dengan kehidupan barumu. Aku selalu menyanyangimu, sahabatku. Ada atau tidak ada aku. Walau jasadku tidak dapat kamu lihat, namun ragaku selalu bersemayam di hatimu dan Senja''

Catur melipat surat tersebut hati-hati. Sedikit kesedihan dari wajahnya terhapus. ''Ya aku tahu senja. Kamu tidak akan pernah pergi. Aku akan selalu dapat melihatmu, aku tahu kamu selalu datang di saat Senja tiba''. Senyum Catur terkembang. Dia yakin bahwa senja ada disana, bersamanya.  

Happy reading guys! ini cerpen aku buat waktu tugas bahasa indonesia :). Arigatou buat yang udah baca, komentarnya di tunggu loh ;;). Oh ya buat yang mungkin baca cerpenku yang lain, aku juga pakai nama Catur ( dia ini sahabatku), aku pakai namanya soalnya namanya unik ;).

Follow Me On Twitter : @citraayuputrii

Broken Heart

Hari ini, di kala senja menghampiri, saat itulah aku pertama kali melihatnya sedang duduk di Tribun sekolah. Aku sudah mengamatinya sejak beberapa menit yang lalu. Dia sepertinya tidak menyadari ada sepasang mata yang mengamatinya sejak tadi. Mendadak dia menoleh ke arahku. Aku tergagap, pura-pura melihat handphone, dan berusaha tidak terlihat sedang mengamatinya. Beberapa saat kemudian, dia pergi menuju parkiran. Aku masih mengamati punggungnya sampai tak terlihat lagi.
Ini minggu kedua aku berada di sekolah baruku. Ya, status sebagai pelajar SMP telah kutinggalkan beberapa bulan yang lalu. Kini aku adalah seorang pelajar di sebuah sekolah swasta terkenal di kotaku, SMA CENDANA. Aku aktif dalam mengikuti berbagai macam kegiatan ekstra maupun non ekstra. Dan karna kegiatan itu banyak menyita waktu bermainku, bahkan waktu kepulanganku ke  rumah.
Sore ini adalah untuk ketiga kalinya dalam minggu ini aku mengikuti ekstrakurikuler, sehingga kepulanganku ke rumah terlambat. Kali ini aku tak mendapatinya duduk di bawah tribun, melainkan di dekat kami yang sedang ekskul. “Dia itu siapa? Kenapa disini?” batinku. Berbagai pertanyaan melintas di benakku. Tak lama, karena beberapa menit kemudian dia memperkenalkan diri. “Semuanya, perkenalkan nama saya Ilham Anugrah. Panggil aja Ilham. Disini saya menjabat sebagai Sie.Humas”. “Ternyata dia senior disini” pertanyaan yang melintas di benakku tadi telah terjawab. Semua calon junior heboh, maklum yang berdiri di hadapan kami adalah seseorang yang boleh di bilang ganteng. Senyumnya juga ramah dan sepertinya dia jahil, menurutku. Ekskul sore itu hanya di isi oleh perkenalan-perkenalan antara senior dan calon junior. Dan baru saat itu aku menyadari bahwa aku sering bertemu dengannya saat pulang sekolah sambil mengendarai sepeda motor berwarna merah.
Parkiran sekolah sepi. Aku duduk di kursi piket, menunggu di jemput. Hanya tersisa beberapa kendaraan guru dan murid. Mataku mengamati sekeliling, benar-benar sepi. “Via!”. Seseorang berteriak memanggil namaku. Sontak aku terkejut dan melihat ke belakang. “Febri, kenapa? Ngagetin aja” kataku setelah melihat siapa yang memanggilku. Febri hanya tertawa, lantas duduk tepat di sebelahku. “Belum di jemput?” tanyanya. Aku menggeleng. “Kamu Feb, kenapa belum pulang?”. “Nungguin si Muti nih, belum selesai dia les. Biasalah anak tebengan”. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi Febri yang sedang kesal itu.
Saat kami sedang menunggu, tiba-tiba terdengar suara tawa yang khas, muncul dari arah belakang. Kutoleh kebelakang, ternyata benar. Dia yang aku amati senja itu di Tribun. Dia yang mendadak muncul saat ekskul dan ternyata adalah seniorku, dia yang membuat otakku memikirkannya. Dia, Ilham. Ilham bersama ketiga temannya, tertawa dan bercanda menuju kendaraan masing-masing. Kuperbaiki sikap dudukku, dan menyiapkan senyum terbaik untuknya jika dia melihat, tentu saja.
Mungkin dewi keberuntungan tengah bersamaku kala itu. Benar saja, dia menghampiriku dan kemudian menyapaku, hal yang seharusnya aku lakukan, mengingat aku adalah juniornya. “Belum di jemput dek?” tanyanya ramah. “Belum bang” jawabku tak kalah ramah, dan tak lupa ku berikan senyum terbaik menurutku. “Ini mau pulang, oh ya namamu siapa dek?”. “Via bang”. “Oh Via..”. dia tampak mengingat-ingat nama itu. “Maklum baru kemarin aku masuk” lanjutnya lagi. Aku hanya tersenyum. “Oh aku pulang duluan ya dek” pamitnya. “Iya..”. kemudian dia bergegas menuju motornya, mengenakan helm, menyalakan mesin, dan beberapa saat saja dia sudah menghilang dari pandanganku.
Semenjak pertemuan di parkiran, aku mulai bertingkah aneh. Sahabatku bilang tingkahku ini seperti kena penyakit gila. Ya, aku tahu mengapa mereka bilang aku terkena penyakit gila. Gila, karna sejak hari itu aku selalu menyebut namanya. Gila, karna aku selalu menceritakan segala tentangnya, walau yang ku ketahui hanyalah dia seniorku. Gila, karna tiap saat ingin selalu melihatnya. Gila semua tentangnya. Seperti siang itu, ketika aku dan mutia sedang makan siang di pelataran kelas, dari kejauhan terlihat sesosok lelaki sedang menenteng bola basket. “Muuuut! Lihaat kesana!” teriakku histeris. “Ada apaa, ada apaa?” tanyanya. Matanya mengikuti arah telunjukku. “Apaan sih?” tanyanya kesal. “Ada bang Ilham” kataku lagi. Mataku tetap awas mengamati kemana arah dia pergi. Tak kuperdulikan tatapan kesal dan celotehan mutia. “Maaf, hehe”. Hanya itu yang mampu ku ucapkan saat itu.
Namanya jatuh cinta memang dahsyat! Mau makan, inget dia. Mau tidur, eh inget dia juga. Mau ngapa-ngapain juga ingat dia. Malam itu aku sendiri di kamar, tiduran sambil mendengarkan lagu melepaskan kejenuhan . tiba- tiba handphoneku bergetar. Ilham anugrah, nama yang tertetera di layar. “Ngapain dia sms? Tumben banget” batinku. Tapi rasa penasaran itu sirna berganti rasa senang tiada duanya karna orang yang kusukai mengirim sms padaku. Penat dan lelah yang kurasa, seketika itu juga menguap entah kemana.
2 menit lagi bel berbunyi. Dan aku masih berlari menuju pintu gerbang. Napasku terengah-engah, dan rasanya kakiku tak sanggup untuk melangkah. Ketika hampir mencapai pintu gerbang, aku sempat melihat dia dan motornya di belakangku. Tak kuperdulikan, saat ini yang paling penting tidak terlambat! Pikirku. Lantas ku ayun kakiku selebar dan secepat mungkin menuju ruang bahasa inggris. Dan tepat sebelum masuk kelas, bel pun berbunyi. “Syukurlah, masih keburu”.
“Telat Vi? Tumbenan, biasanya pagi belum bel udah nongkrong di depan. Kesiangan ya?”. aku diam. Masih berusaha mengatur nafas yang memburu. “Nih, minum dulu”. Leta menyodorkan sebotol air mineral. Segera ku sambar air yang di sodorkan Leta. Dalam beberapa detik, isi botol itu habis. “Makasih, Ta” ucapku. “Iya, samasama. Tumben telat? Kesiangan?” tanyanya mengulang pertanyaan sebelumnya. “Iya nih, telat bangun. Semalam tidur telat” jelasku. Tak ku katakan bahwa tadi malam aku asik telponan dengan bang Ilham. Tadi malam begitu membahagiakan, ketika telponan dengan bang Ilham, waktu terasa cepat berputar, tahu-tahu begitu tersadar jarum jam telah menunjukkan angka 00.15.telinga panas tak kuhiraukan, jarang sekali ada moment seperti ini.
Jam pelajaran telah usai. Aku,leta, dan febri berjalan menuju perpustakaan untuk mengerjakan tugas kelompok. Di tengah perjalanan menuju perpustakaan, mendadak aku ingin ke toilet. “Leta, Febri. Kalian duluan aja ya! aku mau ke toilet sebentar”. Leta mengangguk, kemudian aku berubah arah berjalan menuju toilet. Sehabis dari toilet, aku menuju perpustakaan. Mungkin saat itu aku sedang tidak konsentrasi, aku menabrak sosok yang sedang memegang bola bakset. Bola basket itu terlempar, dan buku-bukuku jatuh berserakan. “Maaf”. Suaranya seperti yang sering ku dengar. Aku mendongak, bang Ilham!. “Maaf maaf  bang”. Gemetaran suaraku, bibirku memucat perlahan. “Iya nggak apa dek. Lain kali kamu hati-hati ya” balasnya sambil memungut bola, lalu pergi sambil bersiul. Aku masih terpaku menatapnya.
“Kok lama kali Vi? Dari toilet aja kan? Nggak ke kantin kan? ” Leta menyambutku dengan pertanyaan beruntun. “Nggak nggaak Leta sayang. Tadi dari toilet, pas mau kesini, eh malah nabrak orang”. “Hah? Nabrak siapa?”. “Bang Ilham”. “Oalaah. Cieee cieee bang Ilham yaa. Matamu kemana neeng?” Goda Leta. Kurasakan pipiku memerah menahan malu. Melihatku yang seperti itu, Leta sepertinya puas menggoda. Akhirnya sepanjang di perpustakaan itu kami membicarakan Ilham. Ketika asik membicarakannya, tiba-tiba muncullah bang Ilham. “Maak, datang aa’ mu Vi” seru Febri. “Mana mana?”. “Disana!” tunjuk  Leta. “Shuuut, Let! Jangan di tunjuk, malu akuu” seruku seraya menutup muka dengan buku kimia. “Ini ngapain pakai tutup-tutup muka segala?”. Leta segera menarik buku yang kupakai untuk menutup muka, dan Febri memanggil-manggil namaku. Sumpah mati aku kesal dengan dua orang makhluk yang berada di sampingku. Segera ku ambil tas, dan pergi dari perpustakaan. Sayup-sayup yang ku dengar dari mulut Leta dan Febri hanyalah “Yah, kok ngambek sih”.
From : Ilham Anugrah
Dek, besok bisa tolong bawakan novel yang mau kupinjam kemarin? Jangan lupa ya! makasih.
Huh, sms dari bang Ilham bikin kesal. Kirain smsnya nanya apa gitu, tanyain aku udah makan atau belum kek, tanyain aku ekskul atau nggak kek, iih kesal!. Kalau cuma seperti ini, aku malas bertanya lebih lanjut.  Segera ku balas pesan dari bang Ilham dengan singkat, lalu ku hempaskan badan di atas kasur. Semilir angin AC menyapu tubuhku, dalam sekejap aku terbang ke alam mimpi.
“Sayang...” Ilham memanggilku. Aku menoleh, dan tersenyum padanya. Dia duduk tepat di sebelahku, kemudian mengelus pipiku. “Kamu kenapa?” tanyaku. “Hahaha. Ya ampun Via sayang, tampangmu polos banget ya ternyata”. “Maksudnya? Aku polos?” tanyaku dengan tampang bingung. Ilham hanya tersenyum, dan mengenggam tanganku, seolah aku akan pergi jauh. Aku balas mengenggam tangannya lebih erat, seolah tak mau kehilangan. Dan memang aku tak ingin kehilangannya. Untuk beberapa saat, aku merasakan kedamaian dan ketentraman yang selama ini aku rindukan. Dari orang yang aku sayang, tentu saja. Berdua kami tenggelam dalam keheningan senja sore itu. Tiba-tiba, Ilham berdiri kemudian menatapku dan kemudiaan....
Kriiingg kriiiingg kriiinngg! Astaga, ternyata aku hanya bermimpi! Kukira semua itu tadi adalah kenyataan, tapi ternyata tidak. Aku bersyukur, walau dalam mimpi semua yang aku inginkan bisa terjadi, walau cuma dalam mimpi. Bergegas aku turun dari tempat tidur, mandi, memakai pakaian, dan sarapan. Terburu-buru aku berlari mengejar bis yang biasa ku tumpangi ketika akan berangkat sekolah.  Pagi itu, aku melihat dia sedang mengendarai motor merahnya menuju sekolah. Dan lagi-lagi aku hanya menatapnya dari jendela bus. Itu sudah cukup menambah kegembiraan pagi ini. Ketika itu, yang kurasakan adalah semangat, kegembiraan, dan hal positif  lainnya. The power of  love? Maybe.
Kami berdua sampai di sekolah pada saat yang bersamaan, saat turun dari bus, bisa kurasakan ada sepasang mata yang mengamatiku. Benar! Ternyata Ilham. “Pagi dek” sapanya. Nada suaranya terdengar riang. “Pagi juga bang. Eh kok abang duluan yang nyapa aku? Harusnya kan aku” protesku. “Alah, aturan dari mana  tuh junior yang harus nyapa senior duluan? Kalau senior yang bisa duluan nyapa, kenapa nggak? Ya kan?” jelasnya. Aku mangut-mangut. “Iya juga sih bang”. “Oh iya bawa novelnya dek?”. “Bawa bang, ini”. Kusodorkan novel Tuesday with morrie yang akan di pinjamnya. Tangannya meraih novel yang pegang, dan jariku sedikit bersentuhan dengan tangannya. Dia tersenyum,mengucapkan terimakasih, dan berlalu meninggalkanku. Deg! Mendadak perasaan malu menyelimutiku. Pipiku memerah dan dadaku berdebar kencang. Aku rasa rumus fisika, atau matematika takkan bisa mengatasi penyelesaian dari gejalaku ini. Rasa ini benar-benar membuatku bagai tak berpijak pada bumi. Cinta.
Beberapa bulan sudah aku menjalani hubungan dengan bang Ilham. Hubungan yang terjalin di antara kami semakin akrab. Mungkinkah aku dapat menjalin sesuatu hubungan yang lebih?.  Aku sendiri tak berani untuk berharap lebih, tapi kuakui ternyata aku sangat menginginkannya.
Mungkin aku berharap terlalu jauh. Berharap dia menjadi milikku. Berharap dia memberi perhatian lebih padaku, bukan hanya sekedar abang dan adek. Dan aku tak tahu mengapa perasaan ini muncul, ketika melihatnya bersama dengan seorang perempuan yang pasti bukan aku, aku merasakan dadaku bergolak. Amarahku muncul, mungkinkah aku cemburu? Tuhan, kuakui rasa itu dulunya hanya sekedar rasa kagum dari junior terhadap seniornya. Tapi sekarang semuanya telah berubah. Rasa kagum itu kini menjelma rasa cinta yang amat sangat dalam. Rasa cinta yang terpendam, karna untuk mengungkapkannya, aku takkan pernah berani untuk mengakui di hadapannya.
Mendung sejak pagi tadi telah setia menemaniku ke sekolah. Perasaanku seperti mendung, tak bersemangat tak bergairah. Aku merasakan ada sesuatu yang akan terjadi. Aku tak tau ini pertanda apa, namun yang jelas firasat itu mendatangkan sesuatu yang merubah hidupku untuk ke depan.
Kelas masih sepi saat aku tiba di sekolah. Segera kucari bangku yang strategis untuk belajar, lalu duduk melamun menunggu teman yang lain datang. Setelah hampir 10 menit melamun, akhirnya satu-persatu teman-teman mulai berdatangan. Suara tawa riang dan gaduh memecah keheningan yang tadi tercipta. Namun, biarpun suara gaduh dan berisik, aku merasa sepi. Sunyi. Kelabu.
“Viaa. Kamu kenapa? Murung terus dari tadi? Ada masalah apa sayang?”. Leta menghampiriku, jelas dia khawatir dengan keadaanku. “Nggak ada apa-apa Let. Hari ini aku cuma ngerasa nggak enak badan aja” jawabku. Leta terus menatapku, seolah-olah aku berbohong. Kutegaskan sekali lagi padanya bahwa aku tidak apa-apa. Leta masih menatapku, lalu “Yaudah kalau kamu baik-baik aja. Ntar kalau ada apa-apa cerita ya. aku mau ke UKS sebentar”. “Iya Leta. Makasih udah mau perduli sama aku” balasku.
Pulang sekolah, aku memergoki Leta sedang bersama Ilham. Mungkinkah mereka menjalin sebuah hubungan khusus? Ah tak mungkin, batinku. Baru kali ini aku melihat mereka berdua berjalan bersama. Berbagai pikiran negatif  berputar-putar di kepalaku. “Tapi Leta kan sahabatku, nggak mungkin dia pacaran sama Ilham, ada-ada saja. Mungkin kebetulan mereka berpapasan” pikirku dalam hati, meskipun sejujurnya aku tak percaya dengan pemikiranku barusan.
Malam itu, ketika sedang asyik membaca, handphoneku berdering. Tertera di sana, Febri Liana. Kutekan tombol answer. “Via! Udah tau belum kabar ini?”. Suara diseberang sana terdengar panik. “Berita apaan?”. “Leta pacaran sama Ilham!” seru Febri dari seberang sana. Sejenak aku terdiam. Berusaha mencerna kalimat febri barusan. “Ah masa iya? Nggak mungkin lah” kataku berusaha membela Leta. Tak mungkin sahabat sendiri tega berpacaran dengan orang yang di sukai oleh sahabatnya?. “Seriiuuus Via! Aku nggak bohong. Kalau nggak percaya lihat aja FB mereka! Oh iya Vi, kamu nggak kenapa-napakan?  “Nggak feb. Yaudah makasih infonya ya. udah dulu ya, aku capek. Pusing”. Maka telponpun berakhir.
Segera kubuka  FB Leta dan Ilham, disana tercantum dengan jelas, In Relathionship With .. “TEGA! TEGA!” teriakku keras. Tanganku mengepal, dan mataku pedih menahan tangis. Aku merasa bagai di setrum oleh ribuan watt listrik. Air mataku tumpah tanpa bisa kucegah lagi. Mengalir begitu saja, membelah di antara pipiku. Aku menangis tersedu, telungkup di atas kasur, berharap semua ini hanya mimpi dan tak mungkin terjadi. Dan berharap rasa yang menyesakkan itu sirna, lebur bersama tangis. Tapi ternyata tidak. Rasa itu masih ada, bahkan meninggalkan torehan luka di hatiku.
“Tuhan, mengapa harus Leta? Mengapa harus dia yang merebut dirinyaa? Leta sahabat baikku tuhan.” Tangisku makin menjadi-jadi. “Aku relaa, Ilham bersama dia, tapi bukan dia sahabat baikku! Hiks, tega kamu Let, tega! Kamu tahu aku suka sama ilham, berusaha mendekatinya, tapi kamu? Kamu malah merebutnya! TEGA TEGA TEGA!”. Setelah puas mengobrak-abrik hampir separuh kamar, akhirnya aku terduduk di lantai, bersandar di lemari pakaian. Airmata turun semakin keras, dadaku terasa sesak. Dan yang kulakukan hanya menangis.
Sepanjang malam aku menangis, hingga keesokan harinya mataku bengkak. Aku tak perduli penampilanku seperti apa, toh tidak ada yang peduli. Dia juga tak perduli. Apalagi Leta, sungguh dia takkan perduli! Sejak tadi malam telah aku ikrarkan di dalam hati aku akan membenci Leta. Si pengkhianat itu.
Istirahat siang kuhabiskan untuk berada di mushola. Mushola sepi, dan aku hanya sendiri. Jam dinding yang terletak di dinding itu, seakan mengejek kesendirianku. Inginku marah, tapi tenagaku sudah habis terkuras karna semalam telah menangis. Perlahan-lahan air mataku kembali tumpah. Aku tidak tahu ini untuk keberapa kalinya airmataku mengalir. Pintu mushola dibuka.segera kuhapus air mata itu dengan menggunakan punggung tangan. Seseorang masuk, dan memanggilku. “Via, disini kamu rupanya” nadanya terdengar lega. “Syukurlah kamu nggak kenapa-napa. Aku khawatir banget sama kamu”. Febri ternyata mencariku. “Via,Via, kamu kenapa?”. Dilihatnya wajahku, dan berseru tertahan. “Ampun Viaaa!! Kamu nangis? Masalah apa?”. Kepanikan dan kecemasan terlihat jelas di wajahnya. Febri mendekat, mengusap punggungku, menepuknya perlahan, seakan ingin aku berbagi kesedihan padanya. Tangisku jatuh lagi, kali ini ada Febri yang memelukku, untuk menenangkanku. Untuk beberapa saat, yang terdengar hanyalah isak tangisku.
Akhirnya aku jujur kepada febri tentang perasaanku terhadap ilham. “Udah ku duga seperti ini” kata febri, setelah kami terdiam cukup lama. “Maksudmu apa feb?” tanyaku tak mengerti. “Hari itu udah aku kasih peringatan sama Leta, tapi Leta nggak mau dengarin aku”. “Ini salahku Vi” lanjut febri sedih. “Nggak febri nggak salah. Febri bener kok. Makasih ya feb”. Benar-benar terharu melihat sebegitu perdulinya febri. Aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti Febri.
“Via Via”. Leta memanggilku. Sedikitpun aku tak menoleh, apalagi menjawab panggilan Leta. Kupercepat langkah kaki,namun leta berhasil mengejarku. Leta menarik tanganku. “Apaan sih?!” teriakku kesal. Leta terdiam, mungkin kaget melihat sikapku yang biasanya lemah lembut, berubah menjadi kasar seperti itu. “Kamu beda banget hari ini Vi. Kamu kayak ngindar dari aku, padahal aku mau ngajak kamu jalan bareng. Aku baru jadian jadi pengin ngerayain bareng sahabat aku”. “Mau ikut nggak?” tawarnya. “Nggak” sahutku singkat. “Kenapa?” tanyanya lagi. Ih, maunya apa lagi sih? Ingin rasanya aku berteriak di depan mukanya, “Heh Let. Ngapain ngajak aku pergi? Untuk ngeliat kalian berdua senang-senang? Sementara aku disini menahan sakit? Sadar woi sadar!”
Seharian ini lirik lagu Geisha terngiang di kepalaku. Lirik yang bagaimana pula bisa sama dengan apa yang kurasakan. “Semua salahku, tak jaga dirimu, untuk hatiku, sungguh ku tak sanggup. Semua terjadi seperti mimpi, mimpi burukku, kehilanganmuu”. Aku bahkan hampir menangis lagi ketika mendengar lagu itu. Ku akui aku terlalu melankolis,dramatis, atau apalah namanya. Tapi kehilangan seseorang yang kita cinta, sangat menyakitkan. Apalagi, jika seseorang yang kita sayangi, berpacaran dengan sahabat sendiri. Ya, sahabat! Kehilangan yang menyakitkan. Kehilangan sahabat, sekaligus orang tercinta. Dan melupakan orang yang di sayang, mungkin seiring berjalannya waktu rasa sakit itu akan sembuh. Tapi, pengkhianatan dari seorang sahabat takkan pernah sembuh rasa sakitnya.
Diari menjadi pilihanku untuk mengeluarkan segala keluh-kesah dan galauku. Selain febri, hanya dengan diarilah aku mampu menceritakan semua perasaanku tak takut akan bocor.
Dear diari..
Andai kau tahu
Betapa keras usahaku tuk hapus bayangmu
Segala tentangmu,...
Namun tiap kali ku mencoba
Ku gagal, dan di tiap gagal menghampiri
Semakin erat bayangmu memelukku
Memenjarakanku
Membuat seluruh badanku bergetar hebat
Andai kau tahuu ..
Untukmu ilham anugrah.

Setelah hampir sebulan bergelut dengan rasa benci,amarah,dendam, aku lelah. Inginku akhiri semua rasa itu. Ya berusaha berdamai dengan keadaan. Sore itu aku merenung, mengingat masa-masa lalu. Lalu berdialog dengan diri sendiri. Ketika sedang sendiri, Febri datang ke rumah dengan motornya. Berhenti tepat di depan pintu pagar, lalu berteriak memanggilku, dan mengajakku jalan. Aku tercenung. Betapa baiknya sahabatku yang satu ini. Betapa keras usahanya untuk mengajakku pergi jalan-jalan. Hal yang sudah beberapa bulan ini kutinggalkan pasca kejadian itu. Baiklah, ini saatnya mengakhiri kesedihan, pikirku. Lantas ku ganti pakaian dan menuju motor febri. Senyum senang merekah dari bibir febri yang merah. Aku balas tersenyum. “Mau kemana kita?” tanyaku bersemangat. “Ke harmony aja yuk. Makan es krim” usulnya. Aku mengiyakan. Sore itu aku habiskan untuk bersenang-senang dengan sahabat baikku, Febri, tanpa kehadiran Leta.
Dear Diari..
Melupakan seseorang tak semudah membalik telapak tangan, apalagi jika dia orang yang berharga di dalam hidup. Melupakannya, sama susahnya dengan mengingat orang yang belum pernah kita temui sebelumnya.
Namun, rasa ini terlalu menyiksa, menguras tenagaku, bahkan merebut semua tawa,canda, dan kebahagiaan diri ini. Ini harus di akhiri..
Sepertinya ini memang takdir tuhan, yang mengharuskan aku tuk belajar melupakan sesuatu, dan berusaha untuk menerima segala kepedihan,tangis, kesedihan, dan berusaha tuk menggantinya dengan tersenyum ikhlas. Sulit, ku akui. Tapi aku yakin bisa. Aku takkan mati hanya karna cinta dari “DIA” pupus terhadapku, karna aku masih mempunyai cinta yang lain. Cinta dariNya, karna berkat karuniaNya aku bisa menyukai dia. Cinta dari Ayah, cinta dari Ibu, cinta dari sahabat dan teman, cinta dari adik. Cinta tak harus dari dia, dan betapa bodohnya aku menangisi kehilangan satu cinta, padahal ada banyak cinta di sekelilingku. Cinta, semoga semua ini menjadi pembelajaran dan ini adalaah satu langkah dewasakan diri, walau tak ku pungkiri juga pedih.
Ku tutup lembar diariku. Itu adalah lembar terakhir yang aku tulis di dalamnya, sebab aku ingin mengakhiri semuanya, dan ingin menggantinya dengan kebahagiaan. Demi masa depanku juga.
Febri tersenyum senang ketika melihatku tertawa ketika di sekolah. Matanya berkaca-kaca. “Selamat datang kembali, sahabatku. Akhirnya sahabatku telah kembali” ucapnya. Aku memeluknya, merasakan betapa kuatnya ikatan antara kami, ini jauh lebih penting daripada cinta dari ilham, senior yang sukses memporak-porandakan hatiku. “Ke Gor yuk, main basket” ajaknya lagi. “Yuk” aku mengiyakan ajakakan Febri. Sejam bermain basket, aku sudah merasa menemukan diriku yang sempat hilang. Setelah capek bermain, kami pergi ke kantin memesan makanan dan minum. Saat sedang menunggu pesanan datang, terlihat Leta dan Ilham sedang berjalan berdua. Mesra. Bergandeng tangan. Seolah tak ingin berpisah. Febri melirik ke arahku panik. Aku mengerti arti lirikan matanya. “Tenang aja Feb. Aku udah nggak mikirin dia lagi. Udah kubuang di tong sampah.” Ucapku menenangkannya. “Mending kita makan, daripada ngeliat mereka, nggak bakal bikin kenyang” lanjutku lagi sambil menyuap sesendok nasi goreng. Febri tersenyum dan mengikutiku. “Terimakasih tuhan, aku nggak merasa terlalu sakit hati” bisikku.
“Bila memang ku yang harus mengerti. Bila ku bukanlah yang ingin kau miliki, salahkah diriku, singgah di hatimu. Dan bilakah kau tau, kau yang ada di hatiku. Bila cinta kita takkan terjadi, walau rasa di hati ingin memilikimu. Cinta harus berkorban walau harus menunggu selamanya. namun ku yakin kita kan bersama suatu saat nanti. Dimana hanya ada kebahagiaan bukan tangis airmata.”
“Jika memang takdir tuhan menggariskan kita bersama, maka itu pasti akan terjadi. Hanya butuh waktu dan kesabaran dalam menunggunya. Jangan pernah menyerah menggapai cinta, sabar dan ikhlas kunci utama. Semua ada jalannya.” Aku membisikkan kata-kata penyemangat dalam diriku. Lalu menghirup nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan dan tersenyum seraya berkata, “Ini Vialina Andriani yang baru, tegar tanpa airmata”.


Enjoy and Happy reading guys! ini salah satu pengalaman pribadiku sih :'). walaupun patah hati, kita mesti move on yaa ;;) ganbatte kudasai buat yang masih galau! xD
di tunggu komentarnya :)

Follow Me On Twitter : @citraayuputrii

Hujan

Padang savana. Ilalang sepanjang mata memandang. Siang itu, kau dan aku berteduh di bawah pohon akasia rindang. Berdua kita tidur menghadap langit, sambil menebak-nebak bentuk awan yang ada. Tak lama, kau bangkit dan meninggalkanku. Lantas beberapa saat kemudia kau datang membawa rangkaian bunga, membentuk sebuah mahkota. Indah sekali. Kemarilah, panggilmu. Aku mendekat. Pelan, kau sibak rambutku kemudian memasangkan mahkota itu dengan hati-hati. Cantik sekali, desismu. Kau ambil kaca, dan menunjukkan padaku. Dari mana kau dapatkan ini, tanyaku sembari mematut diriku di depan kaca. Tak perlu kau tahu, katamu. Yang penting kau senang, kau terlihat cantik, pujimu. Sungguh aku merasa senang. Ya, kau lelaki yang berdiri di hadapanku ini bukanlah pacarku, melainkan sahabatku yang telah 3 tahun ini menemaniku, berbagi canda tawa keluh kesah tangis dan duka.
Cafe Olala. Aku telah menunggunya sejak tadi. Rasa lelah karna banyak kegiatan membuat aku sedikit mengantuk. Beberapa kali pelayan cafe datang untuk menanyakan pesanan. Namun yang kujawab hanyalah tidak. Saya menunggu seseorang. Nanti saja. Ini puncak lelah menanti. Ku telfon, namun tak di angkatnya. Rasa kantukku semakin menjadi-jadi, lelah akhirnya aku menyerah ketika pelayan itu menanyakan pesananku. Secangkir cappucino hangat, kesukaanmu. Kesukaanku. Kesukaan kita. Selang beberapa saat, kau muncul dengan muka dan tampilan sedikit awut-awutan. Maaf telat, katamu nyegir. Kemana saja, tanyaku. Tak usah kau tanya, yang penting aku sudah disini, katamu dengan seenaknya kau menyeruput cappucino milikku. Aku memperhatikan tingkahnya. setelah dia menghabiskan segelas cappucino, akhirnya dia melihatku. Maaf membuatmu lama menunggu. Ada hal yang ingin aku sampaikan. Mendadak mukamu berubah kikuk. Ada apa? Tanyaku. Sedikit heran dengan raut mukanya yang mendadak berubah. keheningan mendadak menyelimuti. Kau semakin gelisah, bisa kurasakan dari gerak gerik yang semakin tidak wajar. Aku ikut gelisah, tanganku meraih tangannya. mencoba memberikan sedikit kekuatan padanya. Kulihat kau menghela nafas, berat sekali tampaknya. Aku belum siap, katamu memecah keheningan yang tercipta. Baiklah. Hanya itu yang terlontar dariku.
Hujan sedari pagi turun mengguyur kota. udara dingin, membuatku malas beranjak dari tempat tidur. Handphoneku berbunyi. Segera kuraih dan mengangkatnya. Terdengar suara dari seberang. Kau rupanya. Aku tak mendengar dengan jelas apa yang kau ucapkan, hanya gumaman yang tak aku mengerti apa maksudnya. Hujan masih deras, aku duduk di balkon menikmati guyuran hujan. Menikmati setiap tetesnya. Mendengar alunan nada yang tercipta. Meresapi dingin yang menusuk. Aku menatap hujan, hujan seakan mengerti dengan apa yang aku rasakan. Aku merasa hujan adalah jelmaan dari ibu. Ibu, yang meninggalkanku disaat hujan. Yang selalu turun disaat ku merasa sendiri. Hening, aku membayangkan saat ibu masih ada disini. Hujan, ada apa dengannya? Terlontar pertanyaan itu. Kau pun tak tahu, hujan? Akhir-akhir ini dia selalu menghindar. Gugup menguasai jiwanya. Ya, aku berbicara pada hujan. Sebab kau dan aku pun disatukan oleh hujan.
Hujan, 12 januari. Beberapa tahun yang lalu.
Aku, seorang siswi sma duduk manis di bawah pohon akasia rindang, menunggu farah sahabatku. Siang itu mendung, sehingga aku terlihat lebih santai menunggu. Ku ambil novel yang kupinjam dari perpustakaan, dan membacanya. Sesekali mengamati sudut jalan, menanti farah yang tak kunjung datang. Sementara langit mulai menampakkan tanda-tanda akan turun hujan. Aku bergegas pergi mencari tempat berteduh. Aku pergi menuju bangku kosong yang terletak dekat pos satpam. Aku duduk, setelah itu mengirimkan pesan singkat ke farah. Hujan mulai turun, tiap tetesnya bawa kedamaian, riak airnya mencipta melodi indah. Dan, dari ujung jalan sesosok tubuh berlari ke arah tempatku. Sampailah Ia di pos. Badannya basah kuyup, kulihat bibirnya sedikit memucat, giginya bergemeletuk, dan berkali-kali ia menggosok-gosok tangannya. Iba, kuberikan sweater yang kupegang. Dia menatapku, seakan tak mengerti. Kusodorkan kembali, ragu ia menerima. Terimakasih, ucapnya pelan. Hujan. Membawa benih awal persahabatan kami dan menyiraminya agar tumbuh menjadi bunga yang indah.
Suara petir kembali menyadarkanku. Aku tertidur di balkon. Segera aku masuk, menghangatkan badan, kemudian mencoba menghubunginya kembali. Namun, tiba- tiba kau muncul dihadapanku. Hey, sejak kapan berada disitu? Sapaku ramah. Eh, hey. Daritadi. Aku menunggumu bangun, katamu pelan. Kenapa? Tidak ada, jawabmu gugup. Aku semakin gelisah, namun berusaha tetap tenang. Duduklah, aku akan membuatkanmu minuman. Kau mengangguk, lantas saat menuju dapur, sekilas ku lihat ada pendar kecewa juga sedih dimatamu.
Setelah meminum secangkir teh, barulah kau buka suara. Keheningan yang tercipta, akhirnya terpecahkan. Ada apa? Bicaralah. Tanyaku. Put, kamu tahu aku harus pergi ke Australia, keluar juga jawaban atas pertanyaan diamku. Apa? Australia? Tapi kenapa mendadak sekali. Sungguh aku terkejut mendengar itu, namun aku berusaha menutup keterkejutanku. Aku mendapat beasiswa disana. Apa yang memberatkanmu, tur? Tanyaku lirih. Kau terdiam. Aku pun hanyut dalam diam, seolah kami takkan berjumpa. Akuu.. Berat berpisah denganmu put. Sungguh, aku ingin sekali membatalkan beasiswa itu. Aku terdiam. Menatap matanya, seolah mencari pembenaran ucapannya. Tur, aku tau ini cita-citamu sejak lama. Pergilah, aku ikhlas. Hey,bukannya kita masih bisa bertemu dan berkomunikasi? Kucoba untuk tersenyum. Kau pun ikut tersenyum, walau senyum yang kau paksakan.
Hujan. Hari ini keberangkatan catur ke Australia. Aku menyempatkaan datang ke rumahnya sejak tadi pagi. Kami sarapan berdua, lantas menuju bandara. Setiba disana, catur mengenggam tanganku. Put, walaupun kita jauh, jangan pernah lupakan aku ya?. Aku mengangguk. Pasti. Kau sahabat terbaikku put, laanjutmu lagi. Kau juga tur. Kau sahabat terbaikku, balasku sambil tersenyum. Aku, suka kamu put. Apa, kau mau jadi pacarku? aku takjub mendengar apa yang barusan di katakannya. Ada perasaan aneh yang kembali muncul, rasa yang dulu pernah ada. Sudahlah, belajar yang benar tur. Aku akan menunggumu disini.
Pesawat datang menjemputmu. Kau masuk dan melambaikan tangan dari dalam. Aku masih di luar menunggu pesawat yang membawamu pergi dari pandangan.
Hujan turun dengan deras. Aku menangis, menyesali kebodohanku yang terlambat untuk segalanya. Memulai awal darinya. Sungguh, untuk pertama kalinya aku menangisi dirimu, tur. Hujan semakin deras, meninggalkan sedikit perih dan asa dihatiku.



Enjoy! and Happy Reading :) maaf kalau penulisan masih salah, ini dalam tahap belajar. Komentar sangat dinanti. Arigatou minna san xD

Follow Me On Twitter : @citraayuputri

I Give My First Love To You (Japan Movie Review+synopsis)



Film ini menceritakan tentang seorang pemuda bernama Takuma (Masaki Okada) yang menderita penyakit jantung sejak kecil. Penyakit yang dideritanya memaksanya untuk selalu berada di rumah sakit. Taneda Mayu adalah anak dari dokter yang merawat Takuma, mereka berkenalan dan akhirnya menjadi teman.
Suatu hari, Mayu dan takuma sedang bermain di dalam kamar rumah sakit, mereka mendengar suara kembang api dan merekapun berlari ke atas atap. Takuma yang merasa senang kemudian menyuruh mayu memanggil kedua orang tuanya. Akan tetapi takuma kecil terkejut ketika tidak sengaja mendengar bahwa dia takkan bisa hidup lebih dari 20 tahun.
Suatu pagi, takuma menemukan Mayu sedang mencari-cari sesuatu di halaman.
"Apa yang kau cari, Mayu-chan?" tanya Takuma heran.
"Aku mencari bunga berkelopak 4" jawabnya.
"Untuk apa kau mencarinya?" tanya Takuma lagi.
"Hmm, aku bosan takuma tidak bisa bermain" bohong Mayu. "Lagipula bunga itu bisa mengabulkan permintaan" ujarnya lagi.
"kalau aku yang menemukan bunganya bagaimana? aku bisa membuat permohonan tidak?" Takuma bertanya dengan polosnya.
"tentu saja, memangnya apa permintaanmu?"
"aku ingin menjadi astronot, dan menikah dengan mayu chan".
"Hei mayu chan, aku menemukannya!!" seru Takuma.
Tiba-tiba Mayu mendorong tubuh takuma, "Aku ingin Takuma hidup bersamaku. tolong selamatkan dia. tolong! tolong! tolong!" Mayu menangis sambil membuat permohonan.
"Hmm, mayu chan", Takuma mendekat dan tiba-tiba mencium Mayu. *oke sampai disini aku shock nontonnya ._.*

Tahun demi tahun pun berganti. Takuma dan Mayu kini menjadi seorang remaja yang tampan dan cantik dengan karakter yang berbeda. Takuma tumbuh menjadi seorang anak yang pendiam dan pintar, sedangkan Mayu tumbuh menjadi anak yang aktif dan bisa dikatakan sedikit "bodoh". kerjanya hanya menggambar sketsa dan selalu mengandalkan Takuma.
Waktu itu kelas mereka sedang berolahraga. Ada beberapa anak laki-laki yang iseng mengerjai temannya, dan yang menjadi korban adalah mayu. anak laki-laki itu menyiram air ke tubuh mayu, sehingga dalaman yang dipakainya terlihat. melihat mayu diperlakukan seperti itu takuma tak tinggal diam. Dia menghajar temannya, hingga mayu melerai dan menamparnya. "bodoh! kau akan menyakiti dirimu sendiri" ujarnya sambil menangis. *ambil tissue, lap air mata*
"Kupikir aku pacarmu, jadi aku yang pertama yang bisa melihatnya" ujar Takuma saat berada di uks. "Kalau kau ingin melihatnya, lihatlah. Apapun akan kuberikan, asalkan kau tidak menyakiti dirimu lagi". Mayu tiba-tiba mendekat dan membuka baju. "Stop!" seru Takuma. "Kenapa?" tanyanya heran.
"Dadaku sakit, tapi ini lain rasanya" ujar Takuma pelan. "Kebahagiaan terlalu berlebihan bisa membuatmu terluka! aku tidak mau kau pergi". akhirnya mereka berdua berlarian di dalam UKS dan kemudian
*kissing scene* jangan yadong ah xD

Takuma yang merasa dirinya akan selalu membuat mayu menangis, karna itu dia memutuskan untuk pergi melanjutkan SMA di sekolah asrama yang cukup jauh dari rumahnya, sekolah yang dimasukinya adalah sekolah terfavorit di daerahnya. pada saat kelulusan Takuma bertanya pada Mayu akan melanjutkan ke sekolah mana? dan mayu mengatakan dia tak punya rencana dan berharap menemukan ide. kemudian mereka berpisah di sata Takuma ingin mengatakan sesuatu.

Hari pertama Takuma pergi sekolah, seperti biasa ada penyambutan murid baru. Takuma terkejut karna nama Mayu disebut. Mayu mendapat peringkat tertinggi dalam ujian akhir, dan membuat sedikit kekacauan di podium.
Kejadian di podium menarik perhatian salah seorang siswa laki-laki yang meraih peringkat kedua dalam ujian akhir dan menggoda mayu untuk menjadi pacarnya. siswa itu tahu kalau takuma memiliki penyakit yang sama dengan ayahnya dan meminta takuma untuk menjauhi mayu karna itu akan menyakiti mayu.
Takuma yang kemudian bertemu dengan teman lamanya sesama penderita penyakit jantung di rumah sakit. mereka bercerita tentang harapan mereka tentang kesembuhan dan cinta. Tiba-tiba teman takuma meminta takuma untuk menciumnya. dia bilang kalau dia belum pernah merasakan cinta dan berciuman. dan kemudian mereka berdua berciuman. *Takuma kerasukan setan apa sih mau-maunya nggak setia* -_-

sedangkan di tempat lain mayu sedang digoda dengan siswa laki-laki itu. dan mayu dengan tegas mengatakan bahwa dia mencintai Takuma lebih dari siapapun. malam harinya Mayu dan Takuma bertemu, mayu hendak menyerahkan jimat Takuma yang terjatuh, namun mayu akhirnya marah ketika takuma menceritakan bahwa dia mencium gadis yang berada di rumah sakit. Guess what happen next? Ya, mereka berdua akhirnya putus.

Takuma pergi ke rumah sakit untuk menemui gadis yang semalam di ciumnya, begitu masuk ke kamar itu tempat tidur si gadis sudah kosong. Suster disana mengatakan bahwa gadis itu meninggal tadi malam. Takuma yang shock berlari menuju atap rumah sakit *untung dia nggak bunuh diri* kemudian merenung sambil memegangi dadanya yang sakit.

Sesampainya di sekolah Takuma menantang siswa laki-laki yang mengejar mayu untuk tanding lari. dan si siswa tersebut menyanggupi dengan syarat apabila takuma menang dia tidak boleh berbicara dengan mayu, bahkan melihatpun tidak di perbolehkan, begitu juga sebaliknya. dalam pertandingan lari ini akhirnya takuma yang menang. *ciee takuma keren xD
dan pada malam harinya Takuma dan mayu balikan, lalu beryadong ria di tempat olahraga panahan *ini asli merusak filmnya, ceritanya lagi bahagia kali ya karna balikan?*

Ayah Mayu, yaitu dokter yang merawat Takuma mengatakan ada seorang pendonor yang segala sesuatunya cocok dengan jantung takuma. takuma yang mendengarnya sangat senang. sedangkan mayu mengetahui bahwa itu adalah jantung dari siswa laki-laki yang pernah mendekatinya. Namun, Takuma akhirnya tidak mau menjalani operasi karna mengetahui bahwa jantung si pendonor adalah siswa yang mendekati Mayu.
Mayu berusaha keras membujuk Takuma agar mau menerima jantung itu.
"Buat apa aku hidup dengan jantung seorang teman, itu tidak berarti apa-apa" ujarnya.
dan tiba-tiba saja keluarga siswa itu tidak memberikan izin, membuat mayu harus memohon-mohon akan tetapi tidak dikabulkan.
Mendadak Takuma sehat. dia mengajak mayu menjalani harinya dengan melanggar semua pantangan yang berbahaya bagi dirinya. saat itulah hari terakhir Mayu dan Takuma bersama.
Takuma meninggal.

Di akhir cerita Mayu menikah dengan Takuma (dalam bentuk abu) menepati janji masa kecil mereka.


*Komentar Pribadi*
ceritanya bagus, romantis sekali. tapi sayang adegan yadongnya ituloh bikin rusak ._. Endingnya nggak terduga. Hmm sebenarnya bisa menduga sih tapi tetep aja karna filmnya sedih jadi nangis terus *brb lap air mata*.
INI FILM JELEK BANGET!! JELEK BANGET! BIKIN ORANG NANGIS!!
ps : Film jelek versi aku = yang bisa buat nangis sampai sesek nafas. oke lebay. Habisnya, aktornya (masaki okada) itu handsomena dan kawaii sekaliii >//< jadi nggak rela kalau dia mati *biarpun cuma dalam film.

Anyway, Selamat membaca cerita ini  ya! kali aja nggak sempet nonton, ini sudah menceritakan secara garis besar dengan lengkap :).komentarnya sangat dinanti.  Baiklah, Pacarnya Haruma Miura pamit undur diri.
Arigatou Gozaimasu, minna san xD (>^3^)>


Takuma dan Mayu di hari terakhir mereka bersama...

Follow Me On Twitter : @citraayuputrii

Intro

Hallo everybody! I'm back. Huh, blognya ini udah lama nggak dibuka jadinya berdebu deh *brb bersihin*. Kalau kemarin aku anak kelas 11, sekarang aku anak kelas 12 xD sebentar lagi mau tamat :') kayaknya tahun lalu aku tergila-gila dengan negara gajah putih, *waktu itu masih ngefans berat sama Mario Maurer, sekarang masih sih, tapi udah nggak update lagi huhu.
So, sekarang aku mulai suka dengan negeri sakura, uwuwu *tinggal nunggu kapan suka negeri ginseng lagi, hehe.
Ternyata, cowok-cowok jepang nggak kalah tampan lho! kyaaaa >//<
sebentar lagi aku mau post Film-film jepang yang udah aku tonton, memang sedikit sih tapi ngena banget #eaa. So, check this out!
Oh ya, yang ingin bertanya all about Mario Maurer bisa follow My personal account twitter : @citraayuputri atau bisa di akun @OhohIndonesia , aku salah satu admin disana. sayounara!