Selasa, 16 Juli 2013

Hujan

Padang savana. Ilalang sepanjang mata memandang. Siang itu, kau dan aku berteduh di bawah pohon akasia rindang. Berdua kita tidur menghadap langit, sambil menebak-nebak bentuk awan yang ada. Tak lama, kau bangkit dan meninggalkanku. Lantas beberapa saat kemudia kau datang membawa rangkaian bunga, membentuk sebuah mahkota. Indah sekali. Kemarilah, panggilmu. Aku mendekat. Pelan, kau sibak rambutku kemudian memasangkan mahkota itu dengan hati-hati. Cantik sekali, desismu. Kau ambil kaca, dan menunjukkan padaku. Dari mana kau dapatkan ini, tanyaku sembari mematut diriku di depan kaca. Tak perlu kau tahu, katamu. Yang penting kau senang, kau terlihat cantik, pujimu. Sungguh aku merasa senang. Ya, kau lelaki yang berdiri di hadapanku ini bukanlah pacarku, melainkan sahabatku yang telah 3 tahun ini menemaniku, berbagi canda tawa keluh kesah tangis dan duka.
Cafe Olala. Aku telah menunggunya sejak tadi. Rasa lelah karna banyak kegiatan membuat aku sedikit mengantuk. Beberapa kali pelayan cafe datang untuk menanyakan pesanan. Namun yang kujawab hanyalah tidak. Saya menunggu seseorang. Nanti saja. Ini puncak lelah menanti. Ku telfon, namun tak di angkatnya. Rasa kantukku semakin menjadi-jadi, lelah akhirnya aku menyerah ketika pelayan itu menanyakan pesananku. Secangkir cappucino hangat, kesukaanmu. Kesukaanku. Kesukaan kita. Selang beberapa saat, kau muncul dengan muka dan tampilan sedikit awut-awutan. Maaf telat, katamu nyegir. Kemana saja, tanyaku. Tak usah kau tanya, yang penting aku sudah disini, katamu dengan seenaknya kau menyeruput cappucino milikku. Aku memperhatikan tingkahnya. setelah dia menghabiskan segelas cappucino, akhirnya dia melihatku. Maaf membuatmu lama menunggu. Ada hal yang ingin aku sampaikan. Mendadak mukamu berubah kikuk. Ada apa? Tanyaku. Sedikit heran dengan raut mukanya yang mendadak berubah. keheningan mendadak menyelimuti. Kau semakin gelisah, bisa kurasakan dari gerak gerik yang semakin tidak wajar. Aku ikut gelisah, tanganku meraih tangannya. mencoba memberikan sedikit kekuatan padanya. Kulihat kau menghela nafas, berat sekali tampaknya. Aku belum siap, katamu memecah keheningan yang tercipta. Baiklah. Hanya itu yang terlontar dariku.
Hujan sedari pagi turun mengguyur kota. udara dingin, membuatku malas beranjak dari tempat tidur. Handphoneku berbunyi. Segera kuraih dan mengangkatnya. Terdengar suara dari seberang. Kau rupanya. Aku tak mendengar dengan jelas apa yang kau ucapkan, hanya gumaman yang tak aku mengerti apa maksudnya. Hujan masih deras, aku duduk di balkon menikmati guyuran hujan. Menikmati setiap tetesnya. Mendengar alunan nada yang tercipta. Meresapi dingin yang menusuk. Aku menatap hujan, hujan seakan mengerti dengan apa yang aku rasakan. Aku merasa hujan adalah jelmaan dari ibu. Ibu, yang meninggalkanku disaat hujan. Yang selalu turun disaat ku merasa sendiri. Hening, aku membayangkan saat ibu masih ada disini. Hujan, ada apa dengannya? Terlontar pertanyaan itu. Kau pun tak tahu, hujan? Akhir-akhir ini dia selalu menghindar. Gugup menguasai jiwanya. Ya, aku berbicara pada hujan. Sebab kau dan aku pun disatukan oleh hujan.
Hujan, 12 januari. Beberapa tahun yang lalu.
Aku, seorang siswi sma duduk manis di bawah pohon akasia rindang, menunggu farah sahabatku. Siang itu mendung, sehingga aku terlihat lebih santai menunggu. Ku ambil novel yang kupinjam dari perpustakaan, dan membacanya. Sesekali mengamati sudut jalan, menanti farah yang tak kunjung datang. Sementara langit mulai menampakkan tanda-tanda akan turun hujan. Aku bergegas pergi mencari tempat berteduh. Aku pergi menuju bangku kosong yang terletak dekat pos satpam. Aku duduk, setelah itu mengirimkan pesan singkat ke farah. Hujan mulai turun, tiap tetesnya bawa kedamaian, riak airnya mencipta melodi indah. Dan, dari ujung jalan sesosok tubuh berlari ke arah tempatku. Sampailah Ia di pos. Badannya basah kuyup, kulihat bibirnya sedikit memucat, giginya bergemeletuk, dan berkali-kali ia menggosok-gosok tangannya. Iba, kuberikan sweater yang kupegang. Dia menatapku, seakan tak mengerti. Kusodorkan kembali, ragu ia menerima. Terimakasih, ucapnya pelan. Hujan. Membawa benih awal persahabatan kami dan menyiraminya agar tumbuh menjadi bunga yang indah.
Suara petir kembali menyadarkanku. Aku tertidur di balkon. Segera aku masuk, menghangatkan badan, kemudian mencoba menghubunginya kembali. Namun, tiba- tiba kau muncul dihadapanku. Hey, sejak kapan berada disitu? Sapaku ramah. Eh, hey. Daritadi. Aku menunggumu bangun, katamu pelan. Kenapa? Tidak ada, jawabmu gugup. Aku semakin gelisah, namun berusaha tetap tenang. Duduklah, aku akan membuatkanmu minuman. Kau mengangguk, lantas saat menuju dapur, sekilas ku lihat ada pendar kecewa juga sedih dimatamu.
Setelah meminum secangkir teh, barulah kau buka suara. Keheningan yang tercipta, akhirnya terpecahkan. Ada apa? Bicaralah. Tanyaku. Put, kamu tahu aku harus pergi ke Australia, keluar juga jawaban atas pertanyaan diamku. Apa? Australia? Tapi kenapa mendadak sekali. Sungguh aku terkejut mendengar itu, namun aku berusaha menutup keterkejutanku. Aku mendapat beasiswa disana. Apa yang memberatkanmu, tur? Tanyaku lirih. Kau terdiam. Aku pun hanyut dalam diam, seolah kami takkan berjumpa. Akuu.. Berat berpisah denganmu put. Sungguh, aku ingin sekali membatalkan beasiswa itu. Aku terdiam. Menatap matanya, seolah mencari pembenaran ucapannya. Tur, aku tau ini cita-citamu sejak lama. Pergilah, aku ikhlas. Hey,bukannya kita masih bisa bertemu dan berkomunikasi? Kucoba untuk tersenyum. Kau pun ikut tersenyum, walau senyum yang kau paksakan.
Hujan. Hari ini keberangkatan catur ke Australia. Aku menyempatkaan datang ke rumahnya sejak tadi pagi. Kami sarapan berdua, lantas menuju bandara. Setiba disana, catur mengenggam tanganku. Put, walaupun kita jauh, jangan pernah lupakan aku ya?. Aku mengangguk. Pasti. Kau sahabat terbaikku put, laanjutmu lagi. Kau juga tur. Kau sahabat terbaikku, balasku sambil tersenyum. Aku, suka kamu put. Apa, kau mau jadi pacarku? aku takjub mendengar apa yang barusan di katakannya. Ada perasaan aneh yang kembali muncul, rasa yang dulu pernah ada. Sudahlah, belajar yang benar tur. Aku akan menunggumu disini.
Pesawat datang menjemputmu. Kau masuk dan melambaikan tangan dari dalam. Aku masih di luar menunggu pesawat yang membawamu pergi dari pandangan.
Hujan turun dengan deras. Aku menangis, menyesali kebodohanku yang terlambat untuk segalanya. Memulai awal darinya. Sungguh, untuk pertama kalinya aku menangisi dirimu, tur. Hujan semakin deras, meninggalkan sedikit perih dan asa dihatiku.



Enjoy! and Happy Reading :) maaf kalau penulisan masih salah, ini dalam tahap belajar. Komentar sangat dinanti. Arigatou minna san xD

Follow Me On Twitter : @citraayuputri

0 komentar: